Minggu, 16 Mei 2010


Upaya Peningkatan Mutu Guru

Oleh : Marijan
Guru di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta dan Anggota KGI Kulon Progo DIY

Perubahan kurikulum pendidikan yang berganti-ganti diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Namun apa yang dapat kita saksikan? Perubahan kurikulum belum mampu menunjukkan hasil yang memuaskan. Apabila kita mau jujur, kondisi objektif yang dapat kita saksikan malahan bertambah parah.

Upaya pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan belum mencapai apa yang diharapkan. Indikator yang digunakan untuk melihat keberhasilan pendidikan tersebut sebenarnya tidak tepat.

Pertama, rendahnya hasil perolehan rata-rata nem. Hasil tersebut masih jauh di bawah standard yang diharapkan. Pemerintah terus berusaha menaikkan angka standard kelulusan. Akan tetapi setiap angka standard kelulusan dinaikkan dibarengi dengan penambahan jumlah peserta didik yang tidak lulus. Nilai siswa yang lulus pun rata-ratanya hanya berada sedikit di atas standard minimal kelulusan.

Kedua, menurunnya nilai aspek nonakademis. Banyak kritik dilontarkan berkaitan dengan masalah moral, kreativitas, kemandirian, sikap demokratis dan kedisiplinan yang dilakukan masyarakat pelajar maupun orang-orang mantan pelajar. Hal ini sebagai akibat pembelajaran yang terjadi hanya mengejar berkembangnya IQ dan mengesampingkan EQ dan SQ. Padahal dalam kehidupan di masyarakat justru EQ dan SQ lebih penting daripada IQ. Ditegaskan oleh Goleman (1996) dalam penelitiannya bahwa IQ hanya berperan 20 % dan EQ justru berperan 80% untuk menopang kesuksesan hidupnya.

Ketiga, rendahnya kompetensi guru. Rendahnya kompetensi guru ini disebabkan oleh kompleksitas kondisi yang mengelilingi guru. Adapun kondisi yang dimaksud adalah :
a) masih banyak guru mengajar bukan pada bidang tugasnya. Hal demikian berakibat pada penguasaan dan penyampaian materi tidak dapat berlangsung secara optimal. Alasannya pun sangat bervariasi yakni, di sekolah tidak ada guru lulusan bidang studi tertentu dan demi pemerataan jam mengajar.
b) Guru tidak konsen pada tugasnya. Guru masih mencari uang melalui pekerjaan lain. Hal ini disebabkan gaji yang diterima tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan hidupnya. Konsentrasi kesibukannya justru lebih tinggi untuk pekerjaan lain, bukan pekerjaan yang berkaitan dengan persiapan proses pembelajaran.
c) Masih banyak guru gagap teknologi, wawasan kependidikannya picik, keterampilan mengajar kurang optimal, tidak terampil mengoperasikan komputer, cakrawala pandang wawasan kependidikan yang dapat diakses melalui internet tak dapat tercapai oleh karena belum mengenal internet
d) Motivasi kerja guru yang rendah. Motivasi kerja yang rendah ini dapat disimak melalui sikapnya dalam mempersiapkan RPP, silabus, perangkat penilaian dan perangkat pembelajaran lainnya. Pengadaan perangkat pada umumnya hanya berupa foto kopi teman sekolah lain. Hal lain sebagai indikator motivasi kerja rendah adalah belum terciptanya budaya membaca bagi kalangan guru. Artinya, membaca untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan materi pelajaran dari berbagai referensi ataupun membaca rang berkaitan dengan wawasan kependidikan belum banyak dilakukan oleh sebagian besar guru. Padahal membaca mempunvai kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan profesi guru. Berdasarkan kondisi di atas perlu adanya gerakan serentak memperbaiki mutu guru Indonesia. Gerakan ini menyangkut pihak pemerintah, lembaga pencetak guru, kemauan guru itu sendiri dan masyarakat sebagai agen pemasok calon guru maupun pengguna guru. Upaya apa yang seharusnya dilakukan ?

Pertama, rekrutmen calon guru hendaknya bersifat profesional. Rekrutmen dilakukan dengan cara tes baik tertulis, lisan maupun mikroteaching di hadapan penguji. Calon guru yang diiuluskan hendaknya yang benar-benar memenuhi syarat dalam tugas mengajar. Baik kedalaman pengetahuan materi bidang tugasnya maupun strategi dan metodologi mengajar hendaknya bernilai tinggi. Performance sebagai calon guru juga tidak meragukan. Sebagai data pendukung secara administrasi adalah Indeks Prestasi (1P) yang dimiliki dalam transkip nilai. Indeks Prestasi mestinya menjadi bagian dari proses penilaian bagi calon guru. Selama ini indeks prestasi calon guru tidak pernah diperhitungkan dalam penilaian.

Kedua, guru hendaknya diberi motivasi untuk terus belajar. Kepala sekolah diharapkan sangat peduli dengan peningkatan mutu guru melalui peningkatan belajarnya. Guru yang termotivasi untuk terus belajar akan bertambah semangat dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemandu proses pembelajaran yang baik. Ketiga, guru hendaknya diikutkan penataran atau diklat yang berhubungan dengan profesi keguruannya. Penataran atau diklat bagi guru sangat penting dalam upaya peningkatan mutu kaitannya dengan proses pembelajaran, pengetahuan baru dan berbagai strategi dan metode pembelajaran.

Keempat, guru hendaknya diberdayakan menulis. Menulis dimaksud adalah membuat karya ilmiah baik berupa, buku, diktat, laporan penelitian, ilmiah populer maupun ulasan terhadap berbagai buku baik tentaing pendidikan dan kebijakan- kebijakannya yang sering terasa kontroversial. Guru diharapkan mempunyai target menulis dalam jangka waktu tertentu di berbagai wadah karya guru misalnya buletin pendidikan yang diterbitkan oleh dinas pendidikan kabupaten, dinas pendidikan propinsi, dinas pendidikan pusat, majalah-majalah pendidikan , koran harian serta jurnal pendidikan. Di setiap sekolah hendaknya perlu diterbitkan majalah sekolah guna merangsang guru dan murid bisa menulis. Guru yang sering menulis akan termotivasi untuk maju. Motivasi inilah embrio dari terciptanya guru profesional. Sikap ingin mencari pengetahuan lewat tnembaca akan terbentuk dengan sendirinya. Menghargai tulisan orarng lain menjadi bagian dari sikap penulis. Sikap tidak loyo terpantul dari kegigihan menulis yang tak henti-hentinya. Inilah sikap-sikap yang perlu dikembankan dan dibudayakan melalui pembiasaan dan pemberdayaan untuk menulis karya. ilmiah.

Kelima, guru hendaknya dirangsang untuk meningkatkan mutu mengajar dengan berbagai metode. Pengembangan proses pembelajaran memang patut segera. direalisasikan. Oleh karenanya pihak pemerintah melalui sekolah hendaknya mendukung dengan menyediakan media dan alat pembelajaran yang memadai. Tanpa adanya dukungan media dan alat , pembelajaran belum bisa menarik dan menyenangkan sebagaimana digembor-gemborkan, yakni pembelajaran bernuansa PAIKEM (Produktif, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Berbagai metode perlu dicoba untuk mendukung tercapainya pembelajaran yang PAIKEM seperti disebut di atas. Guru yang bagus dalam penyampaian materi melalui berbagai metode perlu mendapatkan reward yang bermakna. Kepala sekolah tidak perlu pelit memberikan pujian terhadap guru rang berhasil. Agar tidak terlena dalam nikmatnya pujian, pemantauan terhadap proses pembelajaran di kelas terns diupayakan. Dengan pemantauan yang sering dilakukan akan mendorong semangat guru dalam melakukan proses yang baik .

Membina Keterampilan Etika Berbahasa

Membina Keterampilan Etika Berbahasa untuk Pribadi Suksesi
Pangesti Wiedartiii
1. Pengantar
Keterbiasaan kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari membuat bahasa
demikian menyatu dengan kehidupan kita. Rasa menyatu yang lekat itu kadangkala membuat kita
merasa bahasa tidak lebih merupakan bagian keseharian yang diperoleh secara alami karena
lingkungan kita menciptakan situasi tersebut. Tetapi, sesungguhnya bahasa bukan hanya bagian
dari keseharian kita, melainkan benar-benar suatu alat yang amat berperan dalam pengembangan
keilmuan dan pengembangan karir kita (Sakri, 1988; Bhatia, 1993).
Dalam sepanjang hidup kita, pengembangan ilmu dan karir amat terpadu, baik itu dalam
dunia kependidikan maupun karir non-kependidikan. Beda dari kedua bidang ini adalah bidang
kependidikan lebih menekankan kepada pengembangan dan eksplorasi teori, sedangkan bidang
nonkependidikan banyak berorientasi kepada keperluan praktis (tetapi dari keperluan praktis ini
dapat dilakukan uji teori di lapangan yang kemungkinan dapat menyempurnakan teori, membuat
suatu delicacy, atau bahkan melahirkan teori-teori baru). Kedua bidang ini melahirkan teks
(struktur dan penggunaan bahasa) yang sedikit berbeda dalam karakteristiknya.
Oleh karena bahasa amat berperan dalam pengembangan ilmu dan karir kita, mampu
memanfaatkan bahasa untuk mengembangkan keduanya menjadi mutlak diperlukan. Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana kita memanfaatkan bahasa secara maksimal bagi kedua
tujuan tersebut dengan sukses?
2. Negosiasi untuk Memenangkan Transaksi
Pada umumnya, semua komunikasi kita -baik dalam bidang kependidikan maupun
nonkependidikan- mengarah kepada kemampuan untuk bernegosiasi agar dapat memenangkan
transaksi. Dalam bidang kependidikan, salah satu contohnya adalah bagaimana para akademisi
berupaya mampu memenangkan proposal yang ditulisnya (Swales, 1990) agar mendapatkan dana
penelitian. Untuk keperluan ini, akademisi harus mampu menggunakan kemampuan berbahasa
tulisnya untuk menulis proposal sesuai tuntutan scheme (gaya selingkung) yang disyaratkan calon
pemberi dana (Bhatia, 1994), dan pada gilirannya ketika proposal tersebut lolos dalam desk
evaluation, mereka harus mampu menyajikan dan mempertahankan proposal tersebut di hadapan
para reviewer. Pada kedua tahap ini, kemampuan berkomunikasi tulis dan lisan (Halliday, 1985)
diperlukan dalam bernegosiasi untuk memenangkan transaksi. Komunitas wacana (discourse
community) dalam bidang kependidikan ini bervariasi, tetapi dapat diketahui bentuknya karena
bersifat senada dan ajeg. Karenanya, segala sesuatunya biasanya dapat diantisipasi. Kemampuan
mengantisipasi yang menghasilkan strategi itulah yang menjadi kekuatan tersendiri dalam
memenangkan transaksi.
Sementara itu, dalam bidang nonkependidikan, komunitas wacana yang muncul akan
bervariasi karena tuntutan masyarakat amat dinamis. Walaupun demikian, variasi itu dapat
diidentifikasi dengan cara mengamati fenomena yang muncul secara situasional (Eggins & Slade,
1997). Berikutnya, dapat dilihat pola wacana yang muncul untuk kemudian disikapi agar negosiasi
dapat dilakukan, dan transaksi pun pada gilirannya dapat dimenangkan.
Bagan komunikasi (Gambar 1, lihat halaman 4) menggambarkan bagaimana proses
negosiasi dan transaksi itu berlangsung dalam proses komunikasi (Wiedarti, 2006), baik tulis
maupun lisan.
3. Bahasa sebagai Sumber Pilihan dalam Kegiatan Berkomunikasi
Dalam melakukan negosiasi pada bagan proses komunikasi di atas, diperlukan
pemahaman terhadap konsep register dan genre (Wiedarti, 2004) yang digambarkan pada Gambar
2 di halaman 4.
Hal pokok yang perlu diperhatikan di sini adalah register yang terdiri dari field, tenor, dan
mode (Martin, 1992; Biber, 1995). Field berkaitan dengan bidang yang dibahas. Bidang ini akan
menjadi ciri khas komunitas wacana, misalnya teks dalam teknik mesin dan diknik teknik mesin
(Dudley-Evans & St John, 1998; Christie, F., & Martin, J. R. (Eds.), 1997; Rose, 1997). Tenor
berkaitan dengan pelibat wacana, yaitu siapa pembicara/penulis dan mitra bicara atau pembaca,
dan seberapa kedekatan hubungan personal di antara keduanya. Tenor akan mempengaruhi
pemilihan bahasa yang digunakan pelibat wacana dalam berkomunikasi.
Mode berkaitan dengan saluran komunikasi yang akan mempengaruhi karakter bahasa
yang digunakan, misalnya komunikasi via elektronik berbeda dengan komunikasi bahasa tulis
i Disampaikan pada “Pembinan Sukses Karir dan Bimbingan Klasikal Proyek Akhir Mahasiswa D3 dan S1 Angkatan
2004, Jurusan Diknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta”, 27 April 2007
i i Grad. Dipl & Master (applied lingusitics), Ph.D linguistics; dosen JPBSI FBS UNY
1


formal. Ketiganya ini dipengaruhi oleh konteks situasi yang berikutnya akan melahirkan penggu-
naan bahasa formal atau informal.
Pada tataran selanjutnya, yang perlu diketahui dan dikuasai adalah genre, yang
menyangkut struktur teks (tujuan sosial teks, struktur teks, dan unsur kebahasaan) . Menguasai
register dan genre menjadi penting agar komunikasi untuk memenangkan transaksi tercapai. Di
sinilah pelibat wacana harus tahu bahwa bahasa menawarkan berbagai bentuk dan makna yang
dapat dipilih sesuai konteks situasi dan konteks budaya (Fairclough, 1988; 1992).
4. Strategi Berkomunikasi:
a) Santun Berbahasa (Politeness)
Seorang pembicara harus tahu kepada siapa dia berbicara, dalam konteks situasi formal
atau informal, dalam latar budaya apa agar etika setempat dapat diterapkan sebagai bentuk dari
politeness (kesantunan berbahasa, termasuk paralinguistik/gestur), jenis saluran komunikasi
(elektronik: email, sms, telpon; lisan langsung, tertulis), dan tujuan berkomunikasi, langkah-langkah
berkomunikasi, dan unsur kebahasaan yang diperlukan dalam latar komunikasi terkait.
Politeness terdiri dua macam (Brown & Levinson, 1978). Pertama, negative politeness,
dilakukan ketika pembicara menyampaikan permohonan dengan cara negasi, misalnya: “Jika tidak
berkeberatan/merepotkan .......” yang dipilih pembicara untuk menghormati mitra bicara dalam
menentukan sikap. Dengan kata lain, paparan yang disampaikan adalah menggunakan teknik tidak
langsung. Kedua, positive politeness, dilakukan untuk memantapkan hubungan positif di antara
pelibat wacana, menghormati seseorang sesuai dengan konteks (status sosial dan atmosfir
hubungan). Misalnya, tindak tutur langsung seperti ungkapan “sumpah”, “sungguh” digunakan
dalam atmosfir hubungan dekat pelibat wacana karena ungkapan ini mengekspresikan kepedulian
terhadap nilai-nilai yang diyakini pembicara dapat diterima oleh mitra bicaranya.
Teknik politeness yang dapat digunakan antara lain:
i) ekspresi ketidakpastian dan ambiguitas melalui hedging, ungkapan tidak langsung, dan
eufemisme (kata-kata berkonotasi), contoh: “Kalau tidak salah, Ibu meletakkan flashdisk di laci
meja Ibu”
ii) tag question dalam pernyataan langsung: “Anda kemarin belanja ke pasar swalayan, bukan?”,
iii) menggunakan modal tags, misalnya ketika pembicara meminta informasi karena dia tidak yakin
“Anda belum transfer uang ke rekening bank saya, benar?”
iv) affective tags, misalnya: “Anda belum lama tinggal di sini, iya kan?
v) penghalus, untuk mengurangi tuntutan pembicara terhadap lawan bicara, misalnya: “Tolong
bawakan koperku, bisa kan/keberatan enggak?”
vi) facilitative tags, mengajak mitra bicara untuk memberikan komentar terhadap permintaan
pembicara, misalnya: “Anda dapat melakukan hal itu, iya kan?”
b) Teori Appraisal
Teori appraisal (Martin, 1996; Martin & Rose, 2003; White, 2001) dipahami sebagai
evaluative language. Bahwa, setiap seseorang berbahasa, sesungguhnya di baliknya terdapat
penilaian terhadap sesuatu yang dibicarakan. Penilai atau pembicara ini disebut appraiser, yang
dinilai disebut appraised, dapat berupa diri sendiri, orang lain, atau benda. Ihwal penilaian (negatif
atau positif) disebut affect (berkaitan dengan perasaan), appreciation (terhadap benda atau hal),
dan judgement (terhadap perilaku). Selain itu, terdapat aspek engagement yang berkaitan dengan
ekspresi ihwal setuju atau tidak setuju terhadap suatu pernyataan, dan graduation yang berkaitan
dengan bagaimana pernyataan itu diungkapkan, misalnya dengan tegas/langsung atau tidak
langsung.
Contoh:
(1) Direktur (Appraised) kita (Appraiser) prihatin (Affect) dengan masalah kemiskinan dan berkenan
memberikan (Judgement) beasiswa (Appreciation) bagi anak-anak kaum dhuafa.
(2) “Etos kerja karyawan perusahaaan Anda sangat bagus (Graduation:tegas). Saya puas (Affect)
dengan layanan yang diberikan (Appreciation).”
Jika seseorang memahami teori appraisal ini, dia dapat memanfaatkannya untuk memberikan
reward kepada orang lain, atau mengekspresikan opininya sesuai situasi dan karenanya dapat
merebut simpati banyak orang.
c) Instant Persuasion dan Healing Words
Di luar bidang bahasa, terdapat bidang lain yang memberi perhatian kepada pemakaian
bahasa bagi keperluan komunikasi secara umum di beberapa profesi dan hubungan interper-
sonal. Laurie Puhn (pembicara, mediator profesional, pembicara publik yang dinamis) dalam
bukunya Instant Persuasion (2005) menyampaikan pengalamannya tentang “Ucapan Anda adalah
Hidup Anda” menampilkan 35 aturan, yaitu: 1) tundukkan dengan senyum, 2) sebarkan gosip
positif, 3) keluhan yang berpengaruh, 4) mintalah maaf dengan dua cara, 5) jangan tawarkan
pepesan kosong, 6) perbaiki kesalahan, 7) jangan melihat sesuatu dari satu sisi, 8) cari solusi
faktual, 9) jaga lidahmu, 10) hati-hati dengan pujian bermakna ganda, 11) perbesar pujian, 12)
2







perjelas perjanjian, 13) simpan kritik Anda hingga waktu yang tepat, 14) jadikan orang lain sebagai
mitra Anda, 15) hargai orang lain dengan cara baru, 16) tunjukkan bahwa Anda peduli, 17) berikan
jawaban pasti, 18) siapkan bukti, 19) jangan terpancing, 20) hargai kritik, 21) dapatkan lampu hijau,
22) kendalikan amarah, 23) hindari janji kosong, 24) ciptakan kenyamanan di masa sulit, 25)
mintalah dan kamu akan menerimanya, 26) jangan manfaatkan orang lain, 27) tidak setuju tanpa
memusuhi, 28) jadilah tuan rumah yang bijak, 29) jangan menyerah di bawah tekanan, 30) jaga
privasi, 31) hati-hati ketika mengundang, 32) percakapan yang sehat, 33) katakan maksud Anda
dengan jelas, 34) hindari komentar yang tidak perlu, 35) bayar dengan perkataan.
Sementara itu, healing words (Dickson, 1993, Dossey, 1997) dikhususkan di bidang medis,
diharapkan dapat menimbulkan motivasi penyembuhan para pasien. Pasien tidak hanya
memerlukan obat dan perawatan melainkan juga memerlukan kata-kata yang menyembuhkan,
motivasi, dan dukungan yang menghibur dan menciptakan berpikir positif dalam berupaya kembali
sehat. Dalam keseharian kita healing words itu diperlukan dalam pemberian support.
5. Penutup
Komunikasi yang dilakukan seseorang didasarkan pada kemampuan berbahasanya (Halliday,
1979; Briggs & Bauman, 1992). Kemampuan berbahasa tidak lepas dari pilihan kata dan kalimat
yang sesuai konteks situasi serta budaya setempat ketika latar komunikasi terjadi.
Pada umumnya telah banyak orang menerapkan hal-hal di atas, tetapi banyak pula yang
menerapkannya tanpa menyadari betul strategi memanfaatkan penggunaan bahasa dalam latar
pengembangan ilmu dan karir. Dengan menerapkan semua “aturan” ini dan disertai kesadaran
akan kekuatan bahasa amat berpengaruh dalam kegiatan berkomunikasi, diharapkan akan ada
perubahan lebih baik dalam keterampilan berkomunikasi interpersonal.
PRO SES K O M U N I K ASI
transaksi-transaksi
negosiasi-negosiasi

"Obama Anak Menteng" Diluncurkan

"Obama Anak Menteng" Diluncurkan
Senin, 15 Maret 2010 16:32 WIB | Peristiwa | Umum | Dibaca 1678 kali

(ANTARA/Fanny Octavianus)
Jakarta (ANTARA News) - Penulis dan sutradara Damien Dematra meluncurkan karya terbarunya, novel "Obama Anak Menteng" di SDN 01 Menteng, Jakarta. Sekolah itu menjadi tempat belajar Presiden Amereika Serikat Barack Obama sewaktu kecil.

"Buku ini dibuat untuk menginspirasi anak-anak agar mau `bermimpi`, buku yang bercerita tentang masa kecil Obama di SDN Menteng 01 ini ialah contoh dari kekuatan mimpi, the power of dreams," ujar Damien ketika meluncurkan buku itu di SDN 01 Menteng, Jakarta, Senin.

Selanjutnya, Damien menyatakan, buku itu mengisahkan keberhasilan Presiden Barack Obama sebagai seorang pluralis.

"Obama ialah ikon dari pluralisme, dan lewat buku ini saya ingin menyatakan jangan takut untuk berbeda, atau menjadi minoritas. Dari yang minoritas bisa menjadi orang nomor satu di tempat yang mayoritas seperti Obama," ujar Damien yang telah menulis tujuh novel terbitan Gramedia.

Kisah masa kecil, di sekolah, dan rumah Obama yang terletak di kawasan Menteng menjadi latar belakang dari novel yang ditulis dalam kurun waktu lima hari itu.

Dengan mewawancarai kurang lebih 30 orang kerabat, teman sekolah, dan teman sepermainan Obama selama dua minggu, Damien menyatakan novel ini bisa dikatakan memang terinspirasi dari kisah nyata dari pengalaman masa kecil Obama di Indonesia, namun tetap ditambahi dengan unsur-unsur imajinasi.

Damien berharap buku yang ditulis sebanyak 206 halaman ini, bisa diberikan langsung kepada Presiden Barack Obama saat kedatangannya ke Indonesia pada 23 Maret mendatang.

Menurut Damien, ide penulisan buku itu bersumber dari perbincangan saat makan malam dengan beberapa teman Damien yang berasal dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

"Buku ini ditulis karena panggilan idealisme saya sebagai penulis, ingin membuat karya yang inspiratif. Bukan disengaja karena Obama mau datang," kata Damien.

"Obama Anak Menteng" ditulis dalam waktu lima hari dengan riset selama dua minggu.

Sejumlah teman dan kerabat Obama merupakan narasumber pembuatan novel.

"Obama senang bermain tenis meja, sepak bola dan tinju. Dia maunya menyerang terus," kata Slamet Januardi, teman sekaligus tetangga Obama.

Menurut Slamet, Obama suka bermain sebagai penyerang saat bermain bola dan tidak pernah mau menjadi kiper.

Kesukaan Obama bermain bola tertulis dalam bab 8. Pada bab itu digambarkan bagaimana Obama dan teman-temannya bertarung dalam pertandingan sepak bola. Lawannya harus berbuat curang untuk mengalahkan Barry (panggilan Obama). Barry pun terjatuh.

Ia berkata pelan, wajahnya hangat. "I played footbal and things got rough." (halaman 77) Hal itu dikatakan Obama kepada ayahnya Lolo Soetoro, saat ayahnya ingin tahu apa yang terjadi pada Obama.

Damien menyatakan buku tersebut juga akan dibuat film dan mulai digarap pada akhir tahun ini. (ANT/A038)

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/