Selasa, 12 Oktober 2010

E-learning di Sekolah dan KTSP

oleh
Drs. Sutrisno, M.Sc., Ph.D

Pergeseran paradigma dalam pranata pendidikan yang semula terpusat menjadi desentralistis membawa konsekuensi dalam pengelolaan pendidikan, khususnya di tingkat sekolah. Kebijakan tersebut dapat dimaknai sebagai pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada sekolah dalam mengelola sekolah, termasuk di dalamnya berinovasi dalam pengembangan kurikulum dan model-model pembelajaran.

Otonomi yang luas itu, hendaknya diimbangi dengan perubahan yang berorientasi kepada kinerja dan partisipasi secara menyeluruh dari komponen pendidikan yang terkait. Kondisi ini gayut dengan perubahan kurikulum yang sedang diluncurkan dewasa ini oleh pemerintah, yakni kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Konsekuensi yang harus ditanggung oleh sekolah adalah restrukturisasi dalam pengelolaan sekolah (capacity building), profesionalisme guru, penyiapan infrastruktur, kesiapan siswa dalam proses belajar dan iklim akademik sekolah.

Kebijakan penerapan KTSP dan pemberian otonomi pendidikan juga diharapkan melahirkan organisasi sekolah yang sehat serta terciptanya daya saing sekolah. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan pembelajaran berbasis teknologi informasi yang sangat pesat, hendaknya sekolah menyikapinya dengan seksama agar apa yang dicita-citakan dalam perubahan paradigma pendidikan dapat segera terwujud. Kecenderungan yang telah dikembangkan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran adalah program e-learning.

Beragam istilah dan batasan telah dikemukakan oleh para ahli teknologi informasi dan pakar pendidikan. Secara sederhana e-learning dapat difahami sebagai suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer yang dilengkapi dengan sarana telekomunikasi (internet, intranet, ekstranet) dan multimedia (grafis, audio, video) sebagai media utama dalam penyampaian materi dan interaksi antara pengajar (guru/dosen) dan pembelajar (siswa/mahasiswa).

Model pembelajaran berbasis TIK dengan menggunakan e-learning berakibat pada perubahan budaya belajar dalam kontek pembelajarannya. Setidaknya ada empat komponen penting dalam membangun budaya belajar dengan menggunakan model e-learning di sekolah. Pertama, siswa dituntut secara mandiri dalam belajar dengan berbagai pendekatan yang sesuai agar siswa mampu mengarahkan, memotivasi, mengatur dirinya sendiri dalam pembelajaran. Kedua, guru mampu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, memfasilitasi dalam pembelajaran, memahami belajar dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Ketiga tersedianya infrastruktur yang memadai dan yang ke empat administrator yang kreatif serta penyiapan infrastrukur dalam memfasilitasi pembelejaran.

Permasalahan yang dihadapi sekolah saat ini adalah pada tingkat kesiapan peserta belajar, guru, infrastruktur sekolah, pembiayaan, efektifitas pembelajaran, sistem penyelenggaraan dan daya dukung sekolah dalam menyelenggarakan pembelajaran berbasis TIK. Lalu, apakah mungkin program e-learning dapat dilaksanakan di sekolah? Ini yang menjadi esensi dari kebermaknaan e-learning di sekolah.

Menyiapkan program e-learning

Pengalaman menunjukan dalam menyiapkan program e-learning tidaklah sesulit dalam bayangan kita, asalkan kita memiliki kemauan dan komitmen yang kuat untuk menuju ke arah itu. Tanpa komitmen dan dukungan secara teknis maka program e-learning di sekolah tidak mungkin akan terealiasi. Ada tip tentang kunci sukses terealisasinya program e-learning, sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Bates, 2005) dalam journal of e-learning volume 5 tahun 2005, yakni adanya perencanaan dan leadership yang terarah dengan mempertimbangkan efektifitas dalam pembiayaan, integritas sistem teknologi serta kemampuan guru dalam mengadapsi perubahan model pembelajaran yang baru yang sudah barang tentu didukung kemampuan mencari bahan pembelajaran melalui internet serta mempersiapkan budaya belajar bagi siswa.

Ada empat langkah dalam manajemen pengelolaan program e-learning yakni pertama menentukan strategi yang jelas tentang target audience, pembelajarannya, lokasi audience, ketersediannya infrastruktur, budget dan pengembalian investasi yang tidak hanya berupa uang tunai. Kedua menentukan peralatan misalnya hoste vs installed LMS dan Commercial or OS-LMS, ketiga adalah adanya hubungan dengan perusahan yang mengembangkan penelitian berkaitan dengan program e-learning yang dikembangkan di sekolah. Ke empat menyiapkan bahan-bahan yang akan dibutuhkan bersifat spesifik, usulan yang dapat diimplementasikan serta menyiapkan short response time. Kesemuanya itu, hendaknya perlu dipikirkan masak-masak dalam konteks investasi jangka panjang.

Membudayakan belajar berbasis TIK

Berkembangnya teknologi pembelajaran berbasis TIK mulai tahun 1995 an, salah satu kendalanya adalah menyiapkan peserta didik dalam budaya belajar berbasis teknologi informasi serta kurang trampilnya dalam menggunakan perangkat komputer sebagai sarana belajar, serta masih terbatasnya ahli dalam teknologi multimedia khususnya terkait dengan model-model pembelajan. Untuk mempersiapkan budaya belajar berbasis TIK adalah keterlibatan orang tua murid dan kultur masyarakat akan teknologi serta dukungan dari lingkungan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Pembentukan kominitas TIK sangat mendukung untuk membudayakan anak didik dengan teknologi. Model ini telah dikembangkan di Jepang tepatnya di Shuyukan High School dengan membentuk club yang dinamai (Information Science Club), yakni sebagai wadah siswa untuk bersinggungan dengan budaya teknologi.

Kompetensi guru dalam pembelajaran Ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki guru untuk menyelenggarakan model pembelajaran e-learning. Pertama kemampuan untuk membuat desain instruksional (instructional design) sesuai dengan kaedah-kaedah paedagogis yang dituangkan dalam rencana pembelelajaran. Kedua, penguasaan TIK dalam pembelajaran yakni pemanfaatan internet sebagai sumber pembelajaran dalam rangka mendapatkan materi ajar yang up to date dan berkualitas dan yang ketiga adalah penguasaan materi pembelajaran (subject metter) sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

Langkah-langkah kongkrit yang harus dilalui oleh guru dalam pengembangan bahan pembelajaran adalah mengidentifikasi bahan pelajaran yang akan disajikan setiap pertemuan, menyusun kerangka materi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional dan pencapainnya sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Bahan tersebut selanjutnya dibuat tampilan yang menarik mungkin dalam bentuk power point dengan didukung oleh gambar, video dan bahan animasi lainnya agar siswa lebih tertarik dengan materi yang akan dipelajari serta diberikan latihan-latihan sesuai dengan kaedah-kaedah evaluasi pembelajaran sekaligus sebagai bahan evaluasi kemajuan siswa. Bahan pengayaan (additional matter) hendaknya diberikan melalui link ke situs-situs sumber belajar yang ada di internet agar siswa mudah mendapatkannya. Setelah bahan tersebut selesai maka secara teknis guru tinggal meng-upload ke situs e-learning yang telah dibuat.

Dalam penetapan kualitas pembelejaran dengan menggunakan model e-learning telah dikembangkan oleh lembaga Qualitative Standards Scholarship Assessed: An Evaluation of the Professoriate yang dikembangkan oleh Glassick, Huber and Maeroff, (2005), dengan indikator-indikator instrumen yang telah dikembangkan meliputi: kejelasan tujuan pembelajaran, persiapan bahan pembelajaran yang cukup, penyiapan metoda belajar yang sesuai, menghasilkan hasil pembelajaran yang signifikan positif, efektifitas dalam mempresentasikan bahan pelajaran serta umpan balik yang kritis dari peserta didik.

Beberapa hal yang perlu dicermati dalam menyelenggarakan program e-learning / digital classroom adalah guru menggunakan internet dan email untuk berinteraksi dengan siswa untuk mengukur kemajuan belajar siswa, siswa mampu mengatur waktu belajar, dan pengaturan efektifitas pemanfaatan internet dalam ruang multi media.

Dengan mencermati perkembangan teknologi informasi dalam dunia pendidikan dan beberapa komponen penting yang perlu disiapkan serta pengalaman penulis dalam mengembangkan program e-learning maka program e-learning di sekolah bukanlah suatu hayalan belaka bahkan sesegera mungkin untuk diwujudkan.

sumber:www.pendidikan.net

SEKOLAH MILIK ORGANISASI AGAMA DAN MISI PENINGKATAN KERUKUNAN BERAGAMA

Bambang Widiatmoko

BERKAITAN dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dikelola oleh organisasi keagamaan, khususnya Islam dan Kristen, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan. Sekolah-sekolah yang berada dalam naungan ormas agama ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan milik ormas agama meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan agama dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Salah satu kata kunci yang sangat menentukan berhasil-tidaknya upaya mempertahankan persatuan bangsa Indonesia yang multikultural adalah toleransi beragama. Meskipun telah banyak dirintis pelaksanaan dialog antarumat pemeluk agama untuk menumbuhkan rasa saling pengertian di antara para penganut ajaran bermacam agama di Indonesia, masih tetap diperlukan langkah-langkah efektif agar hasilnya lebih optimal. Pada umumnya, kecurigaan yang masih ada di antara sesama umat pemeluk agama berkait langsung dengan keyakinan pemeluk agama mengenai kebenaran dan keunggulan agama masing-masing di atas agama yang lain.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran perlunya menjaga persatuan, kita perlu meningkatkan pemahaman dan wawasan terhadap ajaran agama lain. Dengan kata lain, kecenderungan inward looking, yaitu kebiasaan selalu berorientasi dan mengutamakan ajaran agama yang kita anut, mulai diimbangi dengan outward looking, mempelajari dan mencoba memahamai pandangan dan ajaran agama yang dianut orang lain. Aktivitas ini dilakukan bukan untuk mencari agama mana yang paling unggul, atau paling benar, melainkan semata-mata mencari titik-titik persamaan dan keselarasan yang bisa dijadikan landasan mengembangkan persatuan bangsa.

Pada sisi lain, kita perlu menyadari bahwa perubahan masyarakat yang terjadi bersifat global, tidak terbatas pada wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menciptakan kondisi saling tergantung antara berbagai bangsa. Dengan demikian, antisipasi yang dilakukan harus pula bersifat global dan tidak terbatas pada lingkungan sosial dan budaya Indonesia..

Peran Sekolah Milik Organisasi Agama

Berkaitan dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dimiliki dan dikelola oleh organisasi keislaman, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan.

Salah satu di antara lembaga pendidikan keislaman yang memiliki jumlah sekolah terbesar adalah Muhammadiyah sehingga sekolah-sekolah yang berada dalam naungan lembaga ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Setidaknya, jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan Islam dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Tokoh pendiri perserikatan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, menginginkan lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu menanamkan nilai-nilai intelektualitas, keimanan, dan keterampilan di kalangan anak didik beragama Islam sehingga mereka siap bersaing dengan kelompok masyarakat lain, sampai waktu kapan pun. Latar belakang historis kelahiran Muhammadiyah pada 1912 ini perlu dipahami oleh setiap pengelola pendidikan Muhammadiyah agar mereka tidak tercerabut dari akar sejarah. Untuk itu, perlu digalakkan berbagai kajian, seperti kajian sosiologis, politik, ekonomi, dan budaya untuk meninjau relevansi Muhammadiyah dengan tuntutan masyarakat sekarang. Agar lebih efektif, selain melibatkan personalia pengurus Muhammadiyah kajian ini juga mengikutsertakan kalangan luar, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Kajian sosiologis terkait dengan upaya menmahami pola hubungan yang dikembangkan Muhammadiyah dalam berinteraksi dengan lingkungan masyarakat di masa kelahirannya, tidak saja dengan komunitas beragama Islam, melainkan juga dengan komunitas agama, ideologi, dan keyakinan yang lain. Kebijakan yang populis ini perlu dipahami oleh para penerus Muhammadiyah agar mereka semakin sadar akan kemajemukan bangsa, yang sejak dini sangat diperhatikan oleh pendiri Muhammadiyah. Kemajemukan bangsa ini adalah kekayaan budaya yang potensi mengandung nilai-nilai positif seperti dinamika pemikiran dan dan gagasan. Kenyataan objektif berupa adanya usaha sebagian bangsa di sejumlah daerah Indonesia untuk memisahkan diri dari naungan NKRI hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa akan arti pentingnya memperkukuh batu sendi persatuan bangsa, dengan sikap toleransi beragama sebagai salah satu fondasinya yang paling kokoh. Dengan diberlakukannya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, sekarang tercipta iklim yang cukup kondusif bagi pengembangan wawasan keagamaan secara lebih luas dan bertanggung jawab.

Faktor riil politik di Indonesia (Hindia Belanda) saat kelahiran Muhammadiyah juga menjadi faktor penting yang menentukan corak dan pola strategi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam mencapai misi dakwahnya. Corak dan pola strategi ini terus berubah, selaras dengan dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para penerus Muhammadiyah sekarang tidak boleh terjebak pada sistem dan mekanisme dakwah yang dianggap baku dan tidak dapat direvisi atau diperbarui lagi, apalagi jika sistem itu cenderung konservatif dan tidak mampu mengapresiasi dan menyerap aspirasi masyarakat yang sarat dengan aneka tuntutan dan kebutuhan.

Pembinaan Guru

Dalam proses belajar mengajar,guru emegang pernanan vital. Guru tururt menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran. Guru yang memiliki kualifikasi akan menghasilkan keluaran (out put) yang memadai.

Untuk membina anak didik agar menjadi manusia yang toleran, yang memiliki wawasan luas mengenai agama, dan selalu berusaha mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis, diperlukan guru yang berkualitas dan memiliki kualifikasi. Beberapa hal perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru:

Mengikutsertakan guru dalam pendidikan tambahan, misalnya berbentuk pembekalan atau pelatihan, mengenai pentingnya menumbuhkan sikap toleran antarpemeluk agama.

Para guru perlu mendalami ajaran agama lain, untuk mendapatkan pemahaman tambahan. Mempelajari di sini bukan dengan maksud mengikuti keyakinan agama lain tetapi untuk lebih memahami seluk-beluk keyakinan orang lain agar tidak terjebak pada pandengan sempit dan picik yang sering kali menjadi sukber prasangka terhadap keyakinan agama lain.

Melalui kajian historis, sosiologis dan politis dapat dirumuskan patokan dalam perumusan ulang (rekonstruksi) filsafat pendidikan di institusi pendidikan milik organisasi massa keagamaan lain.

Perumusan-ulang filsafat pendidikan mutlak dilaksanakan, dengan fokus kegiatan:

(a) merumuskan kembali tujuan pendidikan yang diselenggarakan sekolah-sekolah ormas agama,
(b) meninjau kembali pandangan dan sikap lembaga terhadap masyarakat yang beragam etnis, agama dan keyakinan,
(c) merumuskan kembali hubungan agama dengan keluarga, masyarakat, dan negara.

Saran

Sekolah milik organisasi agama, termasuk sekolah milik Muhammadiyah, perlu secara konsisten melakukan revisi kurikulum agar tidak terkesan eksklusif dan cenderung memandang pemeluk agama lain sebagai "the other". Seiring dengan itu, di lingkungan sekolah milik organisasi agama perlu diperbanyak forum dialog yang melibatkan penganut berbagai agama. Dialog dan tukar pikiran seperti ini berdampak positif bagi perkbangan psikologis anak didik.

Dalam konteks implementasi falsafah pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan keislaman, diperlukan tafsir baru terhadap prinsip dasar yang diajarkan Al-Quran. Salah satu prinsip itu adalah gagasan lakum diinukum waliyadiin `bagimu agamamu dan bagiku agamaku". Ajaran ini perlu diperbarui, dengan mengubah penekanan dari aspek teologis menjadi penekanan pada aspek sosiologis. Dengan demikian, terbuka peluang menjalin kerja sama dalam berbagai bidang demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai latar belakang agama, keyakinan, dan ideologi.

sumber:www.pendidikan.net

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/