Senin, 27 September 2010

MODEL PEMBELAJARAN

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan suatu kegiatan tugas professional pendidikan, yang bertolak dari perubahan kondisi pembelajaran saat ini dan merekonstruksi suatu model pembelajaran ke masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model dalam konteks praktik pembelajaran.
Menurut Mills (1989:4), model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan model mempunyai tujuan: (1) memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan; (2) memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah.
Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.


Model Mengajar
Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai.
Memilih suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa hanya ada model mengajar yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru harus membiarkannya dia berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik.
Banyak model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli. Pengembangan model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini dikembangkan. Mengingat banyaknya model mengajar yang telah dikembangkan, Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan menjadi empat rumpun yaitu: model pemrosesan informasi (processing information model), model pribadi (personal model), model interaksi sosial (social model), dan model perilaku (behavior model).
Model mengajar pemrosesan informasi terdiri dari model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam prosesnya ditempuh langkah-langkah seperti mengorganisasi data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal dan non verbal. Banyak model mengajar yang tergolong pada kelompok model ini, yaitu: Inductive thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry, Inquiry Tarining.
Model pribadi berorientasi pada perkembangan diri individu. Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu dalam membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik serta lebih memperhatikan kehidupan emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih diarahkan pada menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Yang tergolong pada kelompok model mengajar ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing self esteem.
Model Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses dimana realita yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas utama diletakkan pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain. Yang tergolong pada kelompok model mengajar diantaranya: Partner in learning, Structured Inquiry, Group Investigation, Role Playing.
Model mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yang umum, yaitu kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya adalah kecenderungan memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil dan berurutan serta dapat terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyeluruh, tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat diamati. Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku siswa, dan perubahan tersebut haruslah teramati. Termasuk dalam model perilaku ini adalah: Mastery learning, Direct Instruction, Simulation, Social Learning, Programmed Schedule.
Pergeseran Konsep Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: a) Behaviroisme, b) Kognitivisme, dan c) Konstruktivisme.
a. Pembelajaran Behavirosime
Good et. al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
b. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
c. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
1. Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
2. Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
3. Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
4. Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Berpijak pada tiga teori belajar seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku. Untuk penganut teori kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah. Hal ini didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
a. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
Sesuai dengan pilosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu (individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah model pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi.
b. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.
c. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme.
Berbeda dengan teori sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung oleh siswa berdasarkan pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata lain, siswa belajar dalam kelompok tidak seperti pada pembelajaran konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, melainkan juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat pada masalah dan model belajar kolaboratif.
Trend Pembelajaran
1. Quantum Learning
Keberhasilan proses belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri individu maupun yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor yang berasal dari dalam diri individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Agar dalam proses belajar terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena itu, belajar dalam konsep quantum learning adalah memberdayakan seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan.
Quantum learning mengonsep tentang "menata pentas: lingkungan belajar yang tepat." Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.
Lingkungan makro ialah "dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. "Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru". Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi.
Pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal dengan istilah dominasi otak.
DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga kelompok yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya, akan benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar yang dimilikinya.
Komponen modalitas secara teoretis mengandung aspek-aspek seperti yang dikemukakan Gardner (1992) mencakup berbagai cara dilakukan dalam membelajarkan diri, mencakup: (1) verbal/linguistik, (2) logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5) musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan naturalistik.
2. Quantum Teaching
Mengajar merupakan salah satu tugas seseorang yang menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa, melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi hasil belajar.
Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar. Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diharapkan pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama proses belajar (Nasution, 1982).
Dalam konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan bahan pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang dimilikinya.
Quantum teaching, merupakan konsep yang dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu "bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia kita ke dunia mereka". Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model yang dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup presentasi. Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
Lawatan Sejarah Sebagai Model Pembelajaran
Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites). Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan "Edutainment". Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi edutainment and technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini diakui telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari "education and entertainment". Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues.
Diposkan oleh Zulihi ms di 05.06

Sabtu, 25 September 2010

Lulus Sertifikasi

Apa yang perlu dilakukan setelah dinyatakan lulus sertifikasi?

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kepada pengelolah klub guru yang terhormat, bolehkah saya minta bantuan informasinya ? memang sih saya orang baru di kalangan para kluber guru. soalnya saya baru nemuin klub khusus para guru ini.

Permasalahannya adalah saya adalah seorang guru yang baru saja lulus sertifikasi rayon 14 LPTK Unesa dan baru kemarin tanggal 26 Agustus 2009 pengumuman kelulusanya, itupun saya mencoba mencari-cari dari internet dan saya datang langsung untuk memastikan pengumuman tersebut ke Mapenda Gresik dimana saya disertifikasi.

Yang membuat saya binggung adalah pasca sertifikasi...? apa yang harus saya lakukan ? dan berkas atau persyaratan apa saja yang harus saya penuhi ? soalnya pas saya ke Mapenda tanya hal tersebut. jawabnya hanya "belum ada informasi mengenai itu". di samping itu saya juga sudah mengirimkan e-mail ke pihak terkait namun belum juga ada balasan sampai hari ini.

kepada pengelolah klub guru tolong dong saya dikirimin informasinya ke e-mail saya tentang informasi tersebut.

maaf kalau saya yang baru ini ngerepotin dan terima kasih sebelumnya

Noeroel Anwar
anwarnoeroel@yahoo.co.id


Pertanyaan ini telah diteruskan ke milis Klub Guru, dan inilah beberapa di antara jawaban yang masuk (jika masih ada pihak lain yang ingin menambahkan jawaban, silakan tuliskan komentar di bagian bawah):

Jawaban :

(1) Dari Eddy Soejanto

Mas Noeroel Anwar guru PNS atau guru bukan PNS? Kalau PNS, cukup duduk, diam, dengar. Kalau non-PNS seperti saya, lulus 2007, melalui proses inpassing yang tidak sederhana, barulah Januari tahun 2010 nanti tunjangan saya diakui dan dibayar setara PNS . Kalau belum cukup, tolong diintip http://www.masedlolur.wordpress.com/

Terimakasih.

Muatan Antikorupsi di Sekolah Hanya Sisipan

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperkuat program pendidikan antikorupsi yang disisipkan di sekolah TK hingga SLTA. Plt Ketua KPK Haryono Umar menjelaskan, pekan depan pihaknya akan bicara lagi dengan pihak Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) terkait program ini.

Haryono menjelaskan, pada tahun lalu, muatan pendidikan antikorupsi telah diterapkan di 50 sekolah sebagai uji coba. Dari hasil evaluasi ditemukan masih adanya kesalahpahaman di tengah masyarakat, terutama kalangan orang tua siswa. Mereka beranggapan, muatan pendidikan antikorupsi ini menambah beban pelajaran siswa. Padahal, kata Haryono, muatan pendidikan yang digagas KPK ini tidak masuk kurikulum dan sifatnya hanya sisipan.

"Bisa disisipkan di pendidikan agama, atau pelajaran yang lain. Ini lebih ke penanaman nilai-nilai kejujuran tanggung jawab, kesederhanaan, keberanian mandiri, peduli, dan lainnya. Jadi tidak akan membenani siswa, karena juga tak ada tes-tesan," ujar Haryono Umar di kantornya, Rabu (22/9).

Deputi Bidang Pencegahan KPK, Eko Tjiptadi menambahkan, pihaknya yang membuat modul-modul materi yang diberikan ke siswa. Modul-modul yang menjadi semacam panduan guru untuk menayampaikan meteri pendidikan antikorupsi itu, dibuat selama dua tahun. Penyusunan modul melibatkan para guru dari berbagai daerah, dan pakar pendidikan. Dia yakin, jika sejak TK hingga SMA penanaman sikap antikorupsi ini diberikan, maka akan ada hasilnya berupa perubahan perilaku. (sam/jpnn)

Guru Pantang Menyerah

Sukari Darno, Figur Guru Pantang Menyerah (3): Diremehkan, Mulai Terpikir untuk Kuliah

Catatan: Eko Prasetyo

Di SMA Muhammadiyah 1 Gresik, Sukari kini menjabat sebagai koordinator ITC. Namun, jabatan itu tidak datang seketika. Kemauan untuk belajar, kemampuan, dan kemajuanlah yang membuat mantan Pak Bon tersebut dinilai mampu mengemban amanah tersebut.

----------

Hari-hari menjadi Pak Bon atau petugas kebersihan sekolah dilewati Sukari dengan senang hati. Tak sedikit pun dia mengeluh. Tidak pula dia merasa malu hanya karena bekerja menyapu dan membersihkan ruang kelas.

Atas permintaan Kepala SMP Muhammadiyah 1 Gresik waktu itu, Muchtamil Pranoto, Sukari menyambi bekerja membersihkan kelas di SMP Muhammadiyah. Termasuk, menata buku di ruang lab komputer SMA Muhammadiyah 1 Gresik, tempat Muchtamil mengajar komputer.

Dari situ, Sukari mulai rajin mempelajari segala hal tentang komputer. Di mana ada waktu luang, di situlah laki-laki asli Jombang tersebut memanfaatkan untuk membaca buku komputer.

Rutinitas sebagai Pak Bon tetap dilakukan, tapi belajar tetap jalan terus. Doyan membaca buku. Inilah yang membuat Sukari cepat memahami ilmu komputer saat dia mulai mempraktikkannya.

Boleh dibilang,Sukari awalnya belajar komputer secara otodidak. Setelah melahap bacaan buku komputer, dia mempraktikkannya setelah selesai bekerja.

Kendati lelah dan peluh mulai menyapa setelah bekerja seharian, semangat Sukari untuk membaca buku komputer tak kendur. Dia kian bersemangat ketika dapat menyalakan dan mematikan komputer setelah mempraktikkan beberapa perintah dasar di buku. Dia melakukannya terus hingga hafal perintah dan tampilannya. Misalnya, perintah dir, del, ver, vol, dan lain-lain.

Ketika mulai pede (percaya diri) menggunakan komputer, Sukari memberanikan diri membeli buku Panduan WS 5.5 untuk belajar cara mengetik yang benar. Kegiatan belajar itu dihabiskan di ruang Pendidikan Komputer (Penkom) Perguruan Muhammadiyah Gresik. Semua itu terjadi sepanjang musim pada 1993.

Setelah dapat mengusai pengetikan dengan WS 5.5, Sukari mulai melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni belajar LOTUS 123. Pada materi tersebut, Sukari banyak dibantu oleh Muchtamil.

Suatu ketika, selepas Isya, Sukari dipanggil Muchtamil ke ruang Penkom untuk mengikuti ekstrakurikuler komputer di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Sejak saat itu, setiap ada ekstrakurikuler komputer, Sukari diminta Muchtamil untuk mengikuti materi Lotus 123 versi 2.3.

Sukari kian bangga setelah diberi kesempatan oleh Muchtamil untuk mempelajari komputer baru generasi 486dx2 dengan RAM 64 di ruang kepala sekolah. Kebetulan komputer itu pun masih kinyis-kinyis alias baru. Ada selembar kertas bertulisan pesan di atas meja kepala sekolah tersebut. "Buatlah belajar, asal jangan berikan perintah del *.* c:" Begitu bunyi pesan itu.

Dengan kepercayaan dari Muchtamil itulah, Sukari hampir tiap malam belajar setelah merampungkan tugasnya menyapu ruang kelas. Sukari pun tak segan bertanya kepada kepala SMP Muhammadiyah 1 Gresik itu jika ada hal yang tidak dipahami.

Sesekali, saat Muchtamil sedang memperbaiki komputer, Sukari mendekatinya. Rasa ingin tahu membawa Sukari ingin melihat lebih jauh tentang apa yang dilakukan Muchtamil. Muchtamil pun tak keberatan menerangkan satu per satu perangkat di CPU kepada Sukari. Muchtamil juga mengajarkan kepada Sukari cara memasang perangkat-perangkat tersebut.

Muchtamil menasihati Sukari bahwa belajar komputer ibarat ilmu katon atau didasarkan pada kepekaan indera. "Jangan dipaksa kalau nggak bisa. Dalam ilmu komputer itu, ada dua pilihan, on off atau 1 dan 0. Kalau nggak bisa masuk, dibalik, begini caranya," pesan Muchtamil kepada Sukari sambil mempraktikkan cara mengoperasikan komputer.

Muchtamil menjelaskan beberapa hal tentang perangkat komputer seperti hard disk dan prosesor dan cara pemasangannya.

"Ayo, sekarang kamu coba," kata Muchtamil menyemangati Sukari.

"Oh, ternyata mudah ya, Pak," ujar Sukari kepada Muchtamil.

Dari situ, Sukari mulai tertarik dengan dunia komputer dan segala aksesorinya.

Pada pengujung 1993, menjelang semesteran, Muchtamil mendadak memanggil Sukari. Semula Sukari menyangka bahwa dirinya diminta untuk membelikan rokok. "Maklum, Pak Tamil 'sapaan Muchtamil Pranoto' saat bekerja di depan komputer pasti ditemani rokok," tutur Sukari.

Ternyata, dugaan Sukari keliru. Dia diminta untuk melanjutkan pekerjaan Muchtamil. "Ri, tolong bantu aku memasukkan nilai. Aku mau salat Asar dulu," kata Sukari menirukan ucapan Muchtamil yang kini sudah tidak merokok lagi. Tanpa berpikir panjang, Sukari langsung mengiyakan.

Tanpa disadari, ada salah sesorang wakil kepala SMP Muhammadiyah 1 Gresik yang melihat Sukari tengah mengetik untuk memasukkan nilai tersebut. Wakil kepala sekolah itu tampak tidak berkenan dengan kehadiran Sukari.

"Hei Ri, kamu bisa komputer ta, kok duduk di situ?" tegur wakil kepala sekolah tersebut dengan nada sinis.

"Ya bisa, Pak. Kalau nggak bisa, masak saya duduk di sini," sahut Sukari ringan.

Terkesan diremehkan, Sukari kemudian menyampaikan hal yang baru saja dialaminya kepada Muchtamil. Namun, Muchtamil justru memberi respons enteng. "Lha wong Pak Bon saja mau belajar, masak nggak ada guru yang mau belajar meski saya sudah mati-matian menyuruh mereka belajar," jawab Muchtamil.

"Masak kepala sekolah sendiri yang harus memasukkan nilai ke komputer? Tenaga TU pun tak mau belajar Lotus. Maunya WS melulu. Biar mereka tahu bahwa Pak Bon saja bisa kalau mau belajar," lanjut Muchtamil.

Setelah kejadian itu, mulai tebersit di benak Sukari untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi alias kuliah. Namun, dia terkendala masalah biaya. Impian untuk kuliah pun untuk sementara harus dikubur dulu "Kerja dulu. Kerja dulu," begitu Sukari menghibur dan menyemangati diri. (bersambung).

Memaksimalkan Full Day School di SD

Oleh: Rendra Prihandono
Kepala SD YPPI 1 Surabaya

SEBUAH refleksi menarik dimuat harian ini pekan lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengakui bahwa pelaksanaan full day school di metropolis kurang maksimal. Khususnya, pada level sekolah dasar.

Beliau juga membeberkan bahwa hal itu, antara lain, disebabkan kurangnya kreativitas guru dalam mengelola joyful learning. Akibatnya, murid cenderung bosan dan lelah mengikuti pelajaran hingga sore. Beliau lalu melontarkan solusi bahwa dispendik akan menggiatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru mengelola joyful learning.

Dispendik Surabaya memang terkesan sangat berkomitmen mendorong SD-SD di metropolis untuk menerapkan full day school. Alasannya, full day school terbukti mampu menekan angka kenakalan remaja.

Logis. Karena sibuk bersekolah, anak tidak punya waktu untuk berbuat aneh-aneh sepulang sekolah. Itu sejalan dengan kecenderungan orang tua metropolis yang tidak punya cukup waktu untuk berinteraksi dengan anak karena sibuk mencari nafkah.

Bila full day school hendak dilaksanakan dengan sukses, yang harus dibenahi adalah penataan kesepahaman sekolah pelaksana dan wali murid. Bila anak harus menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, harus ada alasan sangat kuat yang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian anak. Kita harus kembali pada pemikiran awal, kenapa seorang anak harus pergi ke sekolah. Bila itu tidak dilakukan, pembicaraan mengenai full day school hanya akan menjadi lingkaran setan debat kusir.

Sekolah bukan mesin cuci. Sekolah bukan tempat menyelesaikan permasalahan hubungan keluarga yang buruk. Ketika orang tua terpaksa sibuk bekerja dan khawatir anaknya nakal, lalu memilih sekolah sebagai jalan keluar, itu jelas salah. Sekolah akan selalu dituntut bisa memproteksi anak dari kemungkinan menghabiskan waktu di luar sekolah. Sekolah dituntut menyelesaikan implikasi apa pun dari kurangnya hubungan orang tua-anak.

Anak yang frustrasi, kosong mental, menyimpan amarah psikologis, ditekan untuk berada di sekolah. Celakanya, saat ini, sekolah sebagai mesin cuci belum bisa dikategorikan baik. Sekolah baru bisa menahan anak berada di sekolah secara fisik, belum menjadi rumah yang nyaman bagi alam pikir anak.

Akibatnya, sekolah bisa-bisa menjadi kumpulan anak bermasalah. Mungkin karena itu, banyak sekolah enggan melaksanakan full day school. Sungguh mengerikan bila sekolah mau menjadi mesin cuci dengan ketidaksiapan amat sangat seperti itu.

Sekolah mestinya menjadi wahana anak mengembangkan kepribadian menjadi manusia yang utuh. Mungkin, latar keluarga si anak tidak harmonis. Namun, bila sekolah dan wali murid memiliki pemahaman di atas, bisa diharapkan anak yang melalui hari-hari di sekolah dalam rentang waktu tertentu tumbuh menjadi manusia yang diharapkan. Kesepahaman itu mestinya terwujud dalam komunikasi yang intens dan terstruktur antara sekolah dan wali murid.

Lalu, kesiapan apa yang perlu dilakukan sekolah? Pertama, sekolah harus memiliki kurikulum yang menekankan kebutuhan siswa. Istilah kerennya, pembelajaran berpusat pada siswa atau student-centered learning. Ketika kurikulum berpusat pada siswa, ia akan bertumpu kepada aktivitas siswa. Tidak seperti parrot learning yang selama ini masih dilakukan di banyak sekolah.

Parrot learning adalah proses belajar yang menekankan pada menghafal. Yang dikejar adalah penguasaan pengetahuan deklaratif. Bila ingat sesuatu, maka ia belajar. Anak akan menghabiskan waktu menghafal bagian tubuh di mata pelajaran sains, menghafal siapa saja raja Dinasti Syailendra di sejarah, menghafal rumus-rumus matematika, bahkan menghafal apa saja bagian-bagian komputer.

Memang, bila kita tidak ingat apa-apa tentang apa yang kita pelajari, ada kemungkinan kita tidak belajar. Namun, penekanan proses belajar pada aktivitas pengingatan fakta semata seperti itu kurang lebih sama dengan mengajari burung kakak tua berbicara. Karena itu, muncul istilah parrot learning.

Sekolah dengan student-centered learning akan memaksimalkan siswa dengan aktivitas menemukan pemahaman sendiri. Ketika memelajari bagian-bagian komputer, anak akan sibuk mengeksplorasi komputer hingga tahu mana mouse, keyboard, dan sebagainya tanpa si guru harus berbusa-busa menjelaskan. Guru mungkin sedikit menjelaskan untuk mengarahkan aktivitas anak.

Namun, secara umum si anaklah yang sibuk beraktivitas dengan guru sibuk mengobservasi seberapa jauh anak belajar. Anak SD suka beraktivitas. Bila mereka gembira beraktivitas, waktu belajar yang panjang tidak akan membosankan.

Konsekuensi penerapan student-centered learning adalah kesiapan dan kualitas guru. Dispendik dituntut intens memberikan pelatihan kepada guru SD. Sedikit saran, berdasar pengalaman, pelatihan masal tidak efektif.

Kesiapan terakhir adalah pengelolaan pembiayaan. Menerapkan full day school berarti menahan anak lebih lama di sekolah. Itu berarti pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi) menjadi tanggung jawab sekolah. Itu tidak murah.

Belum lagi pendanaan kegiatan belajar. Aktivitas siswa mengonstruksi pemahaman sebaiknya otentik, tidak hanya indoor activities, tapi juga outdoor activities. Pendanaan outdoor activities juga tidak murah.

Media pembelajaran yang variatif dan interaktif tetap saja menuntut penganggaran tidak sedikit, demikian pula pelatihan guru yang intens dan terencana.

Bantuan operasional pusat dan daerah memang sudah dikucurkan. Namun, di lapangan, kedua mekanisme pembiayaan itu belum maksimal, apalagi dalam konteks menerapkan full day school. Untuk pembiayaan reguler saja, masih ada keluhan karena sekolah tidak lagi bisa menarik iuran dari orang tua.

Mungkin alternatifnya adalah kepala sekolah memiliki visi kewirausahaan. Bisa menggali dana dari pihak ketiga atau melalui unit usaha yang dikembangkan sekolah. Namun, kepala sekolah bermental wirausaha, kalaupun ada, mungkin baru bisa dihitung dengan jari. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, 30 Agustus 2009

Seperti Inikah Matematika yang Menyenangkan?

Seperti Inikah Matematika yang Menyenangkan?

JAKARTA, KOMPAS.com — Banyak cara membuat Matematika menjadi pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Dari yang tradisional menggunakan batang lidi, sampai yang mutakhir ala Glenn Doman. Kuncinya cuma kreativitas.

Penuturan Djomon Bapila, Kepala SD 008 Kalampising, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, ini misalnya. Djomon mengaku, dia mewajibkan para siswa kelas I untuk membawa batang-batang lidi ke sekolah.

"Lalu, saya minta mereka mengikatnya dengan jumlah untuk masing-masing ikat sebanyak 10 lidi. Itulah alat hitung mereka," ujar Djomon, awal Oktober lalu.

"Sederhana memang, tetapi hanya itu yang termurah, tercepat, dan termudah untuk diserap oleh siswa. Dengan lidi-lidi ini, mereka menjadi aktif belajar dan tak sadar bisa menghitung dengan tangkas," tambahnya.

Lain Djomon, lain pula Sugimun. Guru Matematika SMPN I Lumbis, Kabupaten Nunukan, ini punya cara jitu untuk membuat siswanya tertarik dan mudah mengerti pelajaran Matematika yang ia ajarkan. Salah satunya, Sugimun mengajak para siswa bermain gaple atau yang lebih akrab disebut domino.

Ya, "domino Matematika". Sugimun sudah membuktikan bahwa domino tersebut bisa memudahkan siswa mengenal pelajaran Matematika tentang bilangan pecahan.

Tak ubahnya bermain domino, setelah kartu pertama dilempar, kartu berikutnya akan mengikuti. Namun, jika pada domino sesungguhnya berisi kumpulan atau urutan angka-angka, maka kartu pada "domino Matematika" berisi berbagai bilangan pecahan.

"Saya berpikir, apa pun yang ada di sekitar kita, baik itu di lingkungan rumah maupun sekolah bisa dimanfaatkan. Sederhananya, Matematika itu tidak rumit dan mudah dimengerti siswa, asalkan gurunya bisa memudahkan siswa menyerapnya," ujar Sugimun.

"Pernah, waktu pelajaran tentang bangun bidang, seperti kubus, balok, segitiga, atau kerucut, saya minta siswa melihat ke semua sisi bangunan (sekolah), mulai dari dinding sampai atap, ternyata itu lebih mudah dimengerti ketimbang hanya teori di papan tulis," ujar lulusan Universitas Mulawarman ini.

Glenn Doman
Khusus anak balita, mereka memerlukan sistem pembelajaran, metode, dan sarana yang tepat supaya bisa merasa senang dan mudah saat mempelajari Matematika.

Berangkat dari fungsi otak yang memiliki kemampuan menyerap informasi yang luar biasa pada seorang anak, Dr Glenn Doman menunjukkan betapa mudahnya mengajarkan Matematika ke anak balita dan menjadikan proses belajar tersebut begitu menyenangkan.

Menurut Irene F Mongkar, seorang praktisi metode Glenn Doman, pada masa tiga tahun pertama, otak balita mengalami perkembangan yang sangat pesat. Akibatnya, stimulasi yang diberikan pada masa ini akan merangsang kecerdasannya.

Pertanyaannya, bagaimana metode ini mampu membuat pelajaran Matematika menjadi begitu menarik dan menyenangkan buat anak-anak Anda?

- Tahap Pertama, Perkenalkan Jumlah

Perlihatkan kepada anak, kartu-kartu putih berukuran 28 x 28 cm dengan gambar dot (lingkaran berdiameter 2 cm) berwarna merah, mulai dari kartu berjumlah dot 1 sampai dengan 100.

Untuk memperkenalkan jumlah, cukup dengan memberikan 5 kartu, dengan sangat cepat (2 kartu untuk 1 detik) dan diulang maksimum sebanyak 3 kali sehari.

- Tahap Kedua, Perkenalkan Persamaan

Kembali kita menunjukkan kartu-kartu dot, misalnya dot berjumlah 7, 5, dan 12. Tunjukkan kartu tersebut dengan mengatakan ”tujuh ditambah lima sama dengan dua belas”.

Berikan tiga persamaan dalam setiap pengajaran, dan sehari berikan 3 kali pengajaran. Harus dicatat, setiap persamaan tidak diulang lagi.

- Tahap ketiga, Pemecahan Masalah

Siapkan kartu dot berjumlah 4, 7, 11, dan 16. Lalu, tunjukkan kartu tersebut dengan mengatakan ”Empat ditambah tujuh sama dengan 11 atau 16?”

Biarkan si anak memilih, dan berikan dia cukup waktu berpikir dan menunjukkan jawabannya. Berikan anak balita kesempatan untuk menggunakan kemampuannya.

- Tahap keempat, Pengenalan Angka

Pengenalan ini prinsipnya seperti pada tahap 1. Adapun pada tahap kelima, perkenalkan persamaan dengan angka yang ditulis dalam karton panjang berukuran 10 x 50 cm, dengan berbagai jenis persamaan, misalnya 7 + 1 + 11 – 5 + 2 – 4.

Dengan cara yang sederhana, waktu yang singkat, sikap gembira dan menyenangkan, kita dapat mengenalkan Matematika kepada anak balita. Dengan begitu, anak balita akan mulai menyenangi Matematika.

Belajar dengan Ponsel di Sekolah

Belajar dengan Ponsel di Sekolah

Oleh Didin Widyartono
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Budi Utomo Malang

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harusnya membuat pembelajaran menjadi semakin menarik dan bermutu. Kemajuan TIK memberikan berbagai fasilitas melalui produk teknologi yang bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran. Produk-produk yang dapat digunakan dalam pembelajaran antara lain televisi, radio, telepon, telepon seluler (handphone), komputer, hingga koneksi internet. Produk-produk ini harus dapat bermanfaat secara positif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.

Ironisnya, tingginya melek teknologi (literacy with ICT) di kalangan siswa tidak diimbangi oleh kemampuan guru. Hanya sebagian kecil guru yang melek teknologi di atas kemampuan siswa. Memang pesatnya kemajuan teknologi sesuai dengan zamannya. Namun hal ini seharusnya bukan menjadi kendala bagi guru untuk mengembangkan diri dan memanfaatkan teknologi dalam kegiatan pembelajaran menjadi pengajar yang handal dan paham teknologi.

Tinggi daya melek teknologi siswa dibanding guru menyebabkan banyak penyimpangan dalam penggunaan TIK. Banyak video porno yang direkam dan dilakukan oleh kalangan terpelajar melalui fasilitas handphone. Layanan internet banyak disalahgunakan oleh siswa. Kasus-kasus ini merupakan penyimpangan penggunaan teknologi karena rendahnya keterampilan teknologi yang dimiliki guru. Akhirnya, dengan kebijakan yang tidak bijak, beberapa sekolah melarang siswanya membawa handphone ke sekolah.

Apa yang bisa dilakukan oleh handphone dalam kegiatan pembelajaran?
Sebelum membedah daya guna handphone dalam kegiatan pembelajaran, penting dipahami fitur-fitur yang tersedia di dalamnya. Fitur-fitur dalam handphone di antaranya berupa telepon, pesan pendek (Short Message Service/SMS), alarm, timer hitung mundur, stopwatch, kalkulator, pemutar musik, kamera, rekaman video, rekaman suara, infrared/bluetooth, tv, hingga internet melalui berbagai koneksi).

Pertanyaannya, seberapa kreatifkah guru dalam memanfaatkan fitur-fitur ini atau malah menganggapnya fitur-fitur ini tidak berguna dalam kegiatan pembelajaran?
Fitur-fitur handphone dapat dimasukkan dalam langkah-langkah pembelajaran sebagai wujud nyata strategi pembelajaran. Tentu saja, pemanfaatan fitur-fitur handphone harus disesuaikan dengan kompetensi dasar apa yang hendak diajarkan. Guru harus mampu memilih fitur-fitur handphone yang dapat digunakan pada kompetensi dasar tertentu, bukan dipaksa-paksakan, dicocok-cocokkan.

Dalam kegiatan pembelajaran, layanan telepon dapat dimanfaatkan guru dalam menunjuk kelompok. Kelompok ini dapat dibentuk sebelumnya berdasarkan kemampuan tiap individu, bukan secara acak. Kelompok ini dapat diberikan tugas oleh guru seperti untuk penunjukkan presentasi. Penujukkan kelompok dapat dilakukan secara acak melalui fitur panggilan cepat di dalam handphone. Guru harus menyimpan nomor handphone perwakilan beberapa kelompok.
Jika tiba giliran kelompok untuk presentasi, guru cukup menekan tombol 2 hingga 9. Tunggu beberapa saat dan simak telepon siapa yang berdering. Kelompok inilah yang memperoleh giliran untuk presentasi.

Layanan pesan pendek/SMS dapat digunakan guru dalam membagi tema. Langkah ini bertujuan agar tema tiap kelompok tidak diketahui oleh kelompok lain. Caranya, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok. Guru mengirimkan SMS ke perwakilan kelompok berdasarkan beberapa tema sudah dipersiapkan sebelumnya.

Untuk membatasi waktu, guru dapat memanfaatkan alarm handphone. Dalam kegiatan presentasi, diskusi, hingga ulangan harian dapat digunakan fitur alarm. Jatah waktu yang diberikan dapat diukur dengan objektif melalui alarm. Jatah waktu tiap kelompok/tiap siswa sama, bukan berdasarkan insting, melainkan berdasarkan alarm. Layanan yang mirip dengan alarm dalam handphone adalah timer hitung mundur dan stopwatch. Layanan fitur stopwatch dapat digunakan dalam pembelajaran olah raga.

Kalkulator dapat dimanfaatkan guru dengan bijak. Ada saatnya guru memanfaatkan fitur ini dan ada saatnya tidak. Hal ini sangat bergantung pada kompetensi dasar bidang studi yang diberikan. Jika guru sedang membawakan kompetensi non-matematika dan ingin hasil cepat, tidak ada salahnya guru memanfaatkan layanan ini. Namun jika guru sedang melatih kompetensi hitung, guru harus memperhitungkan kembali pemakaian layanan hitung ini. Sekali lagi, guru harus bijak memanfaatkan layanan ini.

Dalam pembelajaran bahasa, layanan rekaman suara dapat digunakan guru dalam memberikan penguatan. Misalnya pembelajaran membaca puisi, membaca berita, membaca pengumuman, dll. Guru dapat menggunakan layanan rekaman suara dan diputar kembali untuk diberikan penguatan.

Jika layanan suara belum cukup, guru dapat menggunakan layanan rekaman video. Melalui rekaman video guru dan siswa dapat menyimak sajian audio-visual. Guru dapat memberikan penguatan sikap dan ekspresi dalam pembelajaran berpidato, membaca puisi, hingga drama.
Layanan rekaman video juga dapat digunakan guru Bahasa Indonesia dalam menulis paragraf.

Guru dapat juga memberikan tugas pada perwakilan kelompok, jika tidak semua siswa memiliki handphone berfitur kamera, untuk memotret objek atau merekam keramaian stasiun kereta api. Lalu, guru memberikan tugas menulis paragraf. Begitu juga guru bidang studi lain, guru ekonomi dapat merekam keramaian pasar, guru olahraga memberikan masukan lay-up dalam olah raga basket yang benar, dll.

Sebagai koneksi transfer data, guru dan siswa dapat memanfaatkan fitur infrared dan bluetooth. Objek yang sudah terpotret dapat dibagi kepada siswa lain atau diserahkan pada guru. Guru atau siswa dapat metransfer langsung ke laptop untuk ditayangkan melalui LCD Proyektor. Objek ini dapat disesuaikan dengan bidang studi yang diajarkan guru.

Handphone tertentu sudah menyediakan fasitas televisi. Guru bidang studi tertentu dapat memanfaatkan televisi sebagai bahan ajar. Misalkan berita, iklan, sinetron, dll. Pemilihan bahan ajar ini harus dilakukan guru secara selektif dan benar-benar membawa manfaat dalam pencapaian tujuan belajar.

Melalui koneksi data, handphone kini menyediakan layanan internet. Melalui internet, guru dapat mencari bahan ajar dan jutaan referensi dalam internet. Tentu jika menginginkan layar yang lebar, handphone dapat dikoneksikan ke laptop dan ditayangkan melalui LCD Proyektor. Jika belum puas melalui koneksi handphone, guru dapat memanfaatkan jaringan internet via kabel dan nirkabel, misal wifi.

Praktik lebih lanjut pemanfaatkan handphone dapat dikreasikan guru. Tentu tidak semua guru dapat memanfaatkan layanan handphone yangdapat dipadukan dengan produk TIK lainnya. Hal ini sangat bergantung pada ketersediaan infrastruktur TIK di sekolah dan daya melek guru terhadap TIK. Yang jelas bahwa berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan produk TIK membawa dampak positif dalam kegiatan pembelajaran menuju pencapaian hasil belajar yang lebih baik. Pertanyaannya, masihkah handphone dilarang dibawa ke sekolah?

Upaya Peningkatan Mutu Guru

Upaya Peningkatan Mutu Guru

Oleh : Marijan
Guru di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta dan Anggota KGI Kulon Progo DIY

Perubahan kurikulum pendidikan yang berganti-ganti diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Namun apa yang dapat kita saksikan? Perubahan kurikulum belum mampu menunjukkan hasil yang memuaskan. Apabila kita mau jujur, kondisi objektif yang dapat kita saksikan malahan bertambah parah.

Upaya pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan belum mencapai apa yang diharapkan. Indikator yang digunakan untuk melihat keberhasilan pendidikan tersebut sebenarnya tidak tepat.

Pertama, rendahnya hasil perolehan rata-rata nem. Hasil tersebut masih jauh di bawah standard yang diharapkan. Pemerintah terus berusaha menaikkan angka standard kelulusan. Akan tetapi setiap angka standard kelulusan dinaikkan dibarengi dengan penambahan jumlah peserta didik yang tidak lulus. Nilai siswa yang lulus pun rata-ratanya hanya berada sedikit di atas standard minimal kelulusan.

Kedua, menurunnya nilai aspek nonakademis. Banyak kritik dilontarkan berkaitan dengan masalah moral, kreativitas, kemandirian, sikap demokratis dan kedisiplinan yang dilakukan masyarakat pelajar maupun orang-orang mantan pelajar. Hal ini sebagai akibat pembelajaran yang terjadi hanya mengejar berkembangnya IQ dan mengesampingkan EQ dan SQ. Padahal dalam kehidupan di masyarakat justru EQ dan SQ lebih penting daripada IQ. Ditegaskan oleh Goleman (1996) dalam penelitiannya bahwa IQ hanya berperan 20 % dan EQ justru berperan 80% untuk menopang kesuksesan hidupnya.

Ketiga, rendahnya kompetensi guru. Rendahnya kompetensi guru ini disebabkan oleh kompleksitas kondisi yang mengelilingi guru. Adapun kondisi yang dimaksud adalah :
a) masih banyak guru mengajar bukan pada bidang tugasnya. Hal demikian berakibat pada penguasaan dan penyampaian materi tidak dapat berlangsung secara optimal. Alasannya pun sangat bervariasi yakni, di sekolah tidak ada guru lulusan bidang studi tertentu dan demi pemerataan jam mengajar.
b) Guru tidak konsen pada tugasnya. Guru masih mencari uang melalui pekerjaan lain. Hal ini disebabkan gaji yang diterima tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan hidupnya. Konsentrasi kesibukannya justru lebih tinggi untuk pekerjaan lain, bukan pekerjaan yang berkaitan dengan persiapan proses pembelajaran.
c) Masih banyak guru gagap teknologi, wawasan kependidikannya picik, keterampilan mengajar kurang optimal, tidak terampil mengoperasikan komputer, cakrawala pandang wawasan kependidikan yang dapat diakses melalui internet tak dapat tercapai oleh karena belum mengenal internet
d) Motivasi kerja guru yang rendah. Motivasi kerja yang rendah ini dapat disimak melalui sikapnya dalam mempersiapkan RPP, silabus, perangkat penilaian dan perangkat pembelajaran lainnya. Pengadaan perangkat pada umumnya hanya berupa foto kopi teman sekolah lain. Hal lain sebagai indikator motivasi kerja rendah adalah belum terciptanya budaya membaca bagi kalangan guru. Artinya, membaca untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan materi pelajaran dari berbagai referensi ataupun membaca rang berkaitan dengan wawasan kependidikan belum banyak dilakukan oleh sebagian besar guru. Padahal membaca mempunvai kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan profesi guru. Berdasarkan kondisi di atas perlu adanya gerakan serentak memperbaiki mutu guru Indonesia. Gerakan ini menyangkut pihak pemerintah, lembaga pencetak guru, kemauan guru itu sendiri dan masyarakat sebagai agen pemasok calon guru maupun pengguna guru. Upaya apa yang seharusnya dilakukan ?

Pertama, rekrutmen calon guru hendaknya bersifat profesional. Rekrutmen dilakukan dengan cara tes baik tertulis, lisan maupun mikroteaching di hadapan penguji. Calon guru yang diiuluskan hendaknya yang benar-benar memenuhi syarat dalam tugas mengajar. Baik kedalaman pengetahuan materi bidang tugasnya maupun strategi dan metodologi mengajar hendaknya bernilai tinggi. Performance sebagai calon guru juga tidak meragukan. Sebagai data pendukung secara administrasi adalah Indeks Prestasi (1P) yang dimiliki dalam transkip nilai. Indeks Prestasi mestinya menjadi bagian dari proses penilaian bagi calon guru. Selama ini indeks prestasi calon guru tidak pernah diperhitungkan dalam penilaian.

Kedua, guru hendaknya diberi motivasi untuk terus belajar. Kepala sekolah diharapkan sangat peduli dengan peningkatan mutu guru melalui peningkatan belajarnya. Guru yang termotivasi untuk terus belajar akan bertambah semangat dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemandu proses pembelajaran yang baik. Ketiga, guru hendaknya diikutkan penataran atau diklat yang berhubungan dengan profesi keguruannya. Penataran atau diklat bagi guru sangat penting dalam upaya peningkatan mutu kaitannya dengan proses pembelajaran, pengetahuan baru dan berbagai strategi dan metode pembelajaran.

Keempat, guru hendaknya diberdayakan menulis. Menulis dimaksud adalah membuat karya ilmiah baik berupa, buku, diktat, laporan penelitian, ilmiah populer maupun ulasan terhadap berbagai buku baik tentaing pendidikan dan kebijakan- kebijakannya yang sering terasa kontroversial. Guru diharapkan mempunyai target menulis dalam jangka waktu tertentu di berbagai wadah karya guru misalnya buletin pendidikan yang diterbitkan oleh dinas pendidikan kabupaten, dinas pendidikan propinsi, dinas pendidikan pusat, majalah-majalah pendidikan , koran harian serta jurnal pendidikan. Di setiap sekolah hendaknya perlu diterbitkan majalah sekolah guna merangsang guru dan murid bisa menulis. Guru yang sering menulis akan termotivasi untuk maju. Motivasi inilah embrio dari terciptanya guru profesional. Sikap ingin mencari pengetahuan lewat tnembaca akan terbentuk dengan sendirinya. Menghargai tulisan orarng lain menjadi bagian dari sikap penulis. Sikap tidak loyo terpantul dari kegigihan menulis yang tak henti-hentinya. Inilah sikap-sikap yang perlu dikembankan dan dibudayakan melalui pembiasaan dan pemberdayaan untuk menulis karya. ilmiah.

Kelima, guru hendaknya dirangsang untuk meningkatkan mutu mengajar dengan berbagai metode. Pengembangan proses pembelajaran memang patut segera. direalisasikan. Oleh karenanya pihak pemerintah melalui sekolah hendaknya mendukung dengan menyediakan media dan alat pembelajaran yang memadai. Tanpa adanya dukungan media dan alat , pembelajaran belum bisa menarik dan menyenangkan sebagaimana digembor-gemborkan, yakni pembelajaran bernuansa PAIKEM (Produktif, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Berbagai metode perlu dicoba untuk mendukung tercapainya pembelajaran yang PAIKEM seperti disebut di atas. Guru yang bagus dalam penyampaian materi melalui berbagai metode perlu mendapatkan reward yang bermakna. Kepala sekolah tidak perlu pelit memberikan pujian terhadap guru rang berhasil. Agar tidak terlena dalam nikmatnya pujian, pemantauan terhadap proses pembelajaran di kelas terns diupayakan. Dengan pemantauan yang sering dilakukan akan mendorong semangat guru dalam melakukan proses yang baik .

Guru dan Makna Profesionalisme

Guru dan Makna Profesionalisme

Oleh Erick Hilaluddin
Guru SD Hikmah Teladan, Cimindi, Cimahi

Oemar Bakri... Oemar Bakri... pegawai negeri Oemar Bakri... Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati Oemar Bakri... Oemar Bakri... banyak ciptakan menteri Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itulah sepenggal lirik lagu "Oemar Bakri" yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh musisi legendaris Iwan Fals pada tahun 1980-an. Lagu tersebut bercerita tentang seorang guru tua nan miskin bernama Oemar Bakri

Ia sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan dan telah membidani lahirnya para pejabat negeri ini. Namun, apa yang dilakukan ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan. Begitulah kira-kira tafsir sederhana saya terhadap lagu tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk kita cermati dari lagu "Oemar Bakri" itu. Pertama, Iwan Fals ingin memberikan gambaran obyektif tentang profesi guru saat itu. Guru merupakan profesi yang tidak elite, tidak bonafide, bergaji pas-pasan, dan tidak ada ruang untuk kemajuan. Gambaran Iwan Fals tentang kondisi guru mewakili anggapan dominan banyak orang saat itu. Tidak mengherankan, jarang ditemukan anak bercita-cita menjadi guru. Ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawaban mereka sudah bisa ditebak: ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, presiden, dan sebagainya. Jarang sekali anak menjawab ingin menjadi guru.

Kedua, sang musisi ingin menyentil pemerintah yang saat itu kurang peduli terhadap pendidikan, khususnya nasib guru. Kita akan selalu ingat salah satu stigma Orde Baru yang sangat menghegemoni, yaitu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Perkataan itu meninabobokan para guru untuk betah hidup dalam ketidaksejahteraan. Perkataan tersebut memaksa mereka puas dengan apa yang selama ini didapatkan.

Perlakuan dan penghargaan terhadap guru di Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah akibat dibom sekutu, hal pertama yang ditanyakan kaisar kepada perdana menterinya adalah berapa guru yang masih hidup. Sang kaisar pun meminta guru-guru yang tersisa untuk dijaga, dipelihara, diberi makan cukup, dan diberi kesejahteraan yang memadai karena sang kaisar beranggapan bahwa guru adalah pijakan arah bangsa. Dari dulu hingga sekarang posisi guru di Jepang amat terhormat. Tidak mengherankan, negara itu maju pesat karena menjadikan guru sebagai arah pijakan bangsa.

Sekarang kondisi guru yang dulu memprihatinkan mulai sedikit berubah. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan, khususnya guru, mulai tampak, misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005. Undang-undang itu bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi walaupun pada akhirnya tidak sedikit guru yang terjebak pada penafsiran keliru terhadap profesionalisme dengan pemberian sejumlah uang dalam kurun waktu tertentu.

Penafsiran keliru tersebut dapat menjerumuskan para guru pada pengerdilan akan makna profesionalisme, bahkan membunuh mentalitas untuk mengabdi dan melayani secara tulus. Dalam pendidikan kita, antara profesionalisme dan apresiasi kerja telah rancu. Celakanya, profesionalisme telah dijadikan sama dengan apresiasi kerja, yakni pemberian penghargaan kepada guru yang lulus uji sertifikasi dengan sejumlah uang sebagai tanda bahwa ia telah menjadi guru profesional.

Hargai pilihan profesi

Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.

Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.

Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.

Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.

Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.

Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?" Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu.

Sabtu, 11 September 2010

Sebuah Makna Hujan di Malam ke-27 Ramadhan

Hari-hari terasa lelah oleh hiruk-pikuknya kendaraan metropolis, ditambah lagi dengan suasana menjelang Hari Raya Iedhul Fitrie banyak orang meningkatkan aktifitas belanja untuk keperluan ol eh-oleh mudik, beragam suara knalpot, sistem pembuangan asap knalpot / gas yang tak terkontrol, meningkatnya kriminalisasi seputar Lebaran,menambah panasnya intensitas kerja otak kiri maupun kanan. Sementara segilintar orang berharap uluran tangan belas kasihan dermawan... berderet sepanjang jalan protokol metropolis, berjubel di tempat-tempat layanan umum. Yah di tempat layanan umum, memang di sanalah mereka kaum duafa berpeluang untuk merubah nasib sekejap dalam keiklasan kaum dermawan, atau para konglomerat yang masih mau menunduk ke bawah melihat saudara-saudara kita yang masih membutuhkan nyawa sambungan. Ya nyawa sambungan... karena mereka sudah tidak lagi akan diterima bekerja di kantor-kantor karena nasibnya yang kumuh, dekil, tak berpendidikan, hanya tamat TK saja, tamat SD saja, drop out SMP atau SMA,atau berhasil tamat SMA,ST,SMK dengan nilai paspasan. Ada juga yang sengaja diusung dari desa ke kota untuk bekerja sebagai peminta-minta oleh segelintir orang. Ada yang berprofesi sebagai pengintip orang berduit di supermarket dan pasar-pasar, atau bank. Atau ada yang bekerja menunggu durian jatuh dari atap Gunung Himalaya.Harapan yang tak dapat dideteksi berapa nominalnya, kapan bisa diprint out di buku rekening,oleh siapa kisaran dollar itu akan fiterima.Yah itulah harga nyawa sambungan yang dapat memperpanjang semangat hidup kum komunitas duafa.Mereka sangat antusias...rela menabrakkan diri ditengah jalan sekedar mendapatkan gantirugi.Nyawa sambungan memang sangat berarti untuk mereka, namun adakah kita atau mungkin pengunjung yang merasa berlebih terpikat untuk sedikit memberikan perekat agar yang sobek tersambung kembali, agar mereka yang hari itu habis makanannya bisa menikmati lezatnya makanan hari esoknya, sebab mereka juga bertanya pada tanah, he tanah apakah kau masih bisa menumbuhkan tanaman yang aku makan di muka bumiku ini ? Lalu si Stress nimbrung bertanya sammbil menggaruk-garuk rambutnya yang gimbal, he Matahari kenapa kau masih memberikan sinarmu di muka bumiku ini apa kau gak malu dengan sinarmu yang semangat dan energik sepanjang hari ternyata ada manusia yang sombong dengan aku yang gimbal ini ? Bukankah karena orang seperti aku ini terus ada dokter? Bukankah karena ada yang jelata muncul si konglomerat? Bukankah karena ada si bodoh muncul bu Guru, Pak Guru, Profesor dan... dan...

Adakah hati di dalam perasaan kita ?

Si Miskin punya pikiran mau bekerja untuk membelikan makanan agar bisa menyambung nyawanya. Karena kalau orang hidup tidak makan akan mati, sebaliknya meraka berteriak akan kaya kalau bekerja.Kaya...kaya...kaya ingatannya penuh dengan kata "kaya" hingga tertidur terus pekerjannya tanpa ada kesempatan memegang pensil atau cangkul atau gerobag.Merasakan lapar yang berkepanjang membuat dirinya miskin, dan hatinya bisa menjadi "memiskinkan diri"
...

Itulah gambaran kecil kehidupan jelata saudara kita yang berteriak kepada dunia dan seisinya, dan selalu bertanya kenapa muntahnya LUMPUR LAPINDO ada di Sidoarjo, kenapa selalu ada yang korupsi di tengah gelimpangan metropolis, dan kenapa selalu orang kecil yang menjadi sasaran. Sasaran penembakan, sasaran ketidakadilan,sasaran kebodohan, sasaran cibiran, dan sasaran yang tak pernah berujung pangkal.Pokoke wong cilik jadi tumbal segala persoalan.

Apakah ada perasaan di dalam hati kita ?

Banyak kaum duafa berperasaan rendahhati pada orang yang merasa kaya, karena di dalam hatinya merasa akan ada belaskasihan dari orang yang mau memberi kasih.Sikap itu terbawa dalam setiap hirupan napas. Anehnya orang yang merasa kaya selalu dapat memberi kasih pada orang yang mau diberi kasihan. Ini namanya orang beneran. Betapa tidak, ayo kembali ke laptop, ingat pada saat kita sedang menangis maka saat itu di sebelah anda ada orang yang siap mentertawakan, ingat saat kita susah tak punya uang maka disamping anda ada orang yang sebenarnya beruang. Tapi ingat bahwa kita susah, menangis,tak punya apa-apa logisnya adalah kita sedang diuji oleh "Sang Pencipta Alam" Maka indahnya jika berperasaanlah kepada hati kita bahwa sebenarnya di dalam hati itu ada RASA dan KARSA. Selama rasa ada di dalam hati ini timbul berbahagialah kita ternyata hidup ini semakin menjadi perasaan untuk sesering mungkin manyadari bahwa masih ada saudara kita yang butuh makan agar kita semena-mena membuang begitu saja makanan yang tidak kita sukai, masih berjuta-juta saudara kita yang susah, sedih, dan tak berdaya sementara kita segar-bugar, masih ada saudara kita telanjang bulat sementara kita berganti-buang baju karena tidak cocok, masih ada saudara kita sakit yang tidak mampu menebus biaya rumah sakit,sementara kita hidup bergelimpang kemewahan, bertumpuk uang, berganda rumah dan villa,berangkap mobil dan kemewahan.

Ternyata kita jauh dari harapan.

1. Apakah yang sudah kita lakukan benar-benar menjadi nilai tambah untuk anak,isteri kita, nenek kakek kita, lingkungan, masyarakat dan lingkup kinerja kita ?

2. Sudah kita meolong sesama ?
3. Sudahkah kita tersenyum untuk hari ini dan seterusnya ?
4. Sudahkah kita mengambil batu di tengah jalan yang hendak dilewati seorang tunanetra ?

Kamis, 09 September 2010

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.
Penjelasan Vokal:

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].

Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]

Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].

Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].

Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].

Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Rabu, 08 September 2010

Guru Bangsa

On May 12, 2008, In Pendidikan, By Satria Dharma

Siapakah yang disebut sebagai ‘Guru Bangsa’? Guru bangsa adalah setiap orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik siswa dan orang-orang di sekitarnya agar dapat menjadikan mereka sebagai tunas-tunas bangsa yang akan tumbuh dan menjadi pembangun bangsa sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan dan amanat Undang-undang 1945.

Apakah hanya orang-orang besar saja yang bisa menjadi guru bangsa? Tidak. Pada hakikatnya bahkan setiap guru yang berdiri di depan kelas atau pun berkeringat di lapangan dan di laboratorium dan mengajar anak-anak bangsa sehingga dapat membuat anak-anak tersebut bangkit semangatnya dan muncul inspirasi untuk dapat menjadi penerus perjuangan bangsa pada hakikatnya adalah Guru Bangsa sejati.
Satria Dharma dan Mohammad Ihsan dari Klub Guru diterima Dirjen PMPTK, Dr. Baedhowi (foto tengah), di ruang kerjanya

Jadi jika Anda seorang guru atau instruktur di lapangan, untuk sejenak lupakan para orang-orang besar di buku-buku sejarah yang sudah dan sedang ditulis, dan mari kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita berkeinginan untuk menjadi Guru Bangsa atau tidak. Kebangkitan bangsa dan negara Indonesia ini ada di tangan para Guru Bangsa yang mendedikasikan seluruh hidup dan cita-citanya kepada pembangunan bangsa melalui pendidikan para tunas bangsa. Dan ada sebesar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia yang dapat menjadi Guru Bangsa jika kita mau!

Permasalahan bangsa, dan bahkan masalah pendidikan yang begitu kompleks, jelas tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah, di mana pun di dunia ini. Justru kitalah para guru, yang jumlahnya 2,7 juta orang, itulah yang sebenarnya memegang kunci solusi dari permasalahan bangsa. Jika para guru tersebut dapat menjadi Guru Bangsa maka semua permasalahan bangsa akan dapat terselesaikan dengan mudah.

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/