Selasa, 27 Juli 2010

YAYASAN, SOEKARNO DAN PENCUCIAN UANG

Selasa, 30 Oktober 2007

M. Natsir Kongah
Sindrome kemiskinan. Agaknya itulah yang sedang melilit kita, utamanya didaerah-daerah yang secara finansial lemah. Mudah tergiur dengar iming-iming, rencana-rencana besar tanpa dasar yang jelas. Beberapa bupati di Nusa Tenggara Timur diberitakan telah menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan, yang mewakili keberadaan yayasan yang menyebutkan dirinya sebagai yayasan internasional pemegang saham mayoritas pada 25 perbankan besar didunia (salah satu anggota dari yayasan ini disebut-sebut Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia).

Tak tanggung-tanggung dana yang dijanjikan untuk dikucurkanya sebagai program dana pendamping bagi pemda diwilayah itu – sebanyak Rp. 27 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis. Uang itu, bila benar adanya tentu akan membebaskan NTT dari daerah rawan pangan dan seketika akan dapat menstimulasi perekonomian yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan. Tapi, apakah semudah itu dana mengalir? Lalu, apa yang menjadi nilai tambah yang diperoleh perusahaan yang menyalurkan dana pendamping itu? Jangan-jangan, bila penyaluran dana itu tidak bermaksud menipu, tapi ada unsur pencucian uang didalamnya ?

Sedikitnya fakta yang ada, membuat kita sulit mencari kejelasan dari sepak terjang yayasan “bertaraf internasional” ini. Tapi, setidaknya tabir itu sedikit dapat dikubak lewat pendekatan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiman diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Juga kejelasan itu dapat dilihat dari tipologi/modus operandi yang sering dilakukan oleh para launder didalam melakukan pencucian uang lewat yayasan atau organisasi nirlaba.

Dari investigasi yang dilakukan, sebagaimana tergambar didalam laporan tahunan tahun 2003 – 2004 yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) berkaitan dengan typologi tindak pidana pencucian uang dan pembiayaan terorisme terlihat bahwa setidaknya ada 215 organisasi nirlaba terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Sinyalemen ini tergambar dari laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh perbankan kepada financial intelligent units (FIUs) – semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ada diberbagai negara. Arus kas dari yayasan yang ada ini cukup besar, tapi tidak didukung oleh underlying transaction yang memadai. Dalam periode tiga tahun, menurut laporan itu ada sebanyak 35 organisasi nirlaba telah mengirimkan uang sebanyak US$ 160 juta kebeberapa perkumpulan imigran lewat perusahaan jasa pengiriman uang yang kemudian digunakan untuk membiayai gerakan teroris.

Selain itu ada pula tipologi, dimana modus operandinya menggunakan nama besar seperti Ir. Soekarno (Presiden Pertama RI). Pendekatan yang dilakukan oleh para mafioso Italia yang bekerjasama dengan pelaku kejahatan di Indonesia ini adalah dengan menjual nama besar Bung Karno. Isinya : Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia memberikan kuasa penuh kepada seseorang warga Indonesia keturunan untuk mengelola asset dana revolusi berupa puluhan ton emas murni dan ratusan juta dolar AS yang disimpan pada sebuah bank di Swiss. Surat berbahasa Indonesia lengkap dengan stempel kepresidenan itu – lalu dibuat seolah-olah valid dengan pengalihan ke bahasa Inggris oleh kantor penterjamah yang telah diangkat sumpahnya dan disahkan oleh notaris yang kesemuanya berkedudukan di Indonesia.

Sekilas, surat – surat yang disertai dokumen pendukung itu sah adanya. Tapi bila sedikit seksama melihatnya, banyak ditemukan kejanggalan. Salahsatunya, kop surat Presiden RI yang resmi adalah berlogokan bintang yang dilingkari oleh padi dan kapas saja. Tapi dalam surat kuasa palsu itu, selain ada lambang bintang, padi dan kapas adapula lambang burung garuda yang berada disisi kiri sebelah atas. Kejanggalan lainnya juga terlihat pada tandatangan Bung Karno yang begitu kaku, lebih jelas lagi bahwa tindakan ini adalah penipuan - ketika diperiksa bank di Swiss sebagaimana disebutkan didalam surat tersebut, emas dan ratusan juta dolar itu tidak pernah ada.

Lalu, bagaimana UU TPPU dapat menyibak persoalan yang ada ? dari ilustrasi ini dapat tergambar. Pertama, bila Yayasan X mentransfer sejumlah dana kepada Perusahaan Y tanpa underlying transaction yang jelas, bank sebagaimana penyedia jasa keuangan lainnya di wajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan yaitu transaksi sebagaimana diatur UU TPPU. Pasal 1 Ayat (7) UU TPPU menyebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaanpola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini; atau
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Kedua , transaksi keuangan Yayasan X kepada Perusahaan Y mencurigakan, karena sebutlah dana yang ditransfer kepada Perusahaan X tidak sesuai profile yang tercatat pada bank. Biasanya perusahaan yang bergerak dibidang jasa bangunan ini hanya memilki mutasi rekening puluhan juta rupiah, tapi dalam waktu seketika menerima aliran dana sebanyak triliunan rupiah. Atas dasar itu, Bank Z tempat dimana Perusahaan Y membuka rekening lalu melaporkan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK dengan pertimbangan transaksi yang ada diluar dari kelaziman Perusahaan Y. Lalu PPATK melakukan analisis, dan dari berbagai informasi yang diperoleh lembaga yang menjadi focal point didalam menangani pencegahan dan pemberantasan tindak pencucian uang di Indonesia ini - menemukan indikasi telah melakukan tindak pencucian uang, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari financial intelligent unit dimana Yayasan X berada - tidak terdaftar dan nama pengirim yang mengirimkan uang kepada Perusahaan Y sedang dicari aparat kepolisian negaranya karena didakwa merupakan bagian dari gembong perdagangan narkotika.


Pola Pencucian Uang

Biasanya para pelanggar hukum yang mendapatkan uang atau kekayaan yang di peroleh secara tidak sah/legal berupaya menjadikannnya seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Pola yang dilakukan didalam proses engineering keuangan ini seringkali rumit dan kompleks, sehingga sulit untuk dideteksi. Namun, secara sederhana kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni: placement, layering dan integration (Lihat: Money Laundering : a Banker;s Guide To Avoiding Problems, (www. occ.treas.gov/launder/org.htm, didownload April 2003).

Placement merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito, saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering, sebuah aktifitas memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu 'legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci' melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di cuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Pola transaksi yang dilakukan oleh Yayasan X ini dikenal dengan layering, untuk itu ia dapat dikategorikan telah melanggar UU TPPU Pasal 3 Pasal (1) yang menyebutkan setiap orang dengan sengaja :
1. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
2. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
3. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
4. menghibahkan atau menyumbangkan harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
5. menitipkan Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tinda pidana; atau
6. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Transfer dana dari Yayasan X kepada Perusahaan Y yang diduga berasal dari perdagangan narkotika merupakan harta kekayaan yang tidak sah sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU TPPU : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ayat (1) huruf (i) narkotika. Selanjutnya, hasil analisis yang dilakukan oleh PPATK disampaikan kepada Polri untuk dilakukan langkah selanjutnya yakni penyidikan, kemudian hasil penyidikan yang dilakukan Polri disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilimpahkan ke Pengadilan.

Kini, trend penipuan yang dikenal dengan Skema Nigerian lewat menang lotre dan sebagainya itu, kini tampaknya mulai beralih dengan menggunakan organisasi nirlaba. Mudah-mudahan yayasan yang akan memberikan dana pendamping kepada kabupaten yang berada di NTT tidak seperti yang digambarkan. Toh kalaupun ia, tak perlu terlalu berkecil hati. Sindrome kemiskinan itu tidak hanya melanda negeri ini, sindrome yang sama juga melanda sebahagian kecil masyarakat Italia yang nota bene negara maju. **


*)Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang.
Dimuat oleh Majalah BUMN WATCH Edisi Januari 2006

Campaign funding: Lesson from Watergate

Natsir Kongah ,

General elections can stimulate political enthusiasm and economic growth, as well as wasteful spending.

There are indications that budgets for general elections and regional elections in Indonesia have surpassed election funds in other countries, even the US, with sums allocated to Indonesia's recent elections reaching US$50 billion.

Substantial election financing, however, can induce economic activities on multiple levels. While the financial crisis plagued many other countries, in Indonesia funds spent by legislative candidates - some already securing seats now - filled the drained pockets of marginal communities.

Sur, a customer at a Deli food stall at Daan Mogot Mall in West Jakarta, said she had got Rp 150,000 from three campaign teams of different parties after casting ballots in the recent legislative elections.

"Each of them gave me Rp 50,000. I just voted for the ones with money," she said, casually.
During the post-election week, the stall had trouble providing enough small change because many customers paid with banknotes in big denominations that they had apparently received from campaigning election candidates.
Medium and large-scale economic sectors also enjoyed extra benefits from the election season. A new national TV station achieved its breakeven point after a year of operation and its management paid bonuses to its employees.
This was for the greater part due to added income from broadcasting political party commercials and their derivatives.

Questions have often arisen as to the sources of campaign funding spent by candidates for the posts of regent, mayor, governor, member of the House of Representatives or Council of Regional Representatives, president or vice president. Were the funds obtained legitimately, and if from legal activities, were these conducted in compliance with state regulations?
The above questions should be examined in the light of the historic Watergate case, which implicated former US president Richard Milhous Nixon. While the setting and judicial aspects of this case are indeed a long way away from present conditions in Indonesia, similar crimes have frequently been committed by election candidates here.
However, the tricks, models and technology employed today are certainly more sophisticated and adjusted to recent developments.

The practice of money laundering is often undertaken by organized crime circles and is also applied in political activities to back campaign funding, as in the Watergate case.
John Madinger & Sydney A. Zalopany in their book Money Laundering: A Guide for Criminal Investigations (1999) describe how law enforcers uncovered the Watergate case.
The involvement of Kenneth Dahlberg, Dwayne Andreas and Bernard Barker/Maurice Stans was detected from a check worth $25,000 drawn by Kenneth Dahlberg from his account at First Bank and Trust Company in Boca Raton, Florida.
The check, drawn on April 8, 1972, originated from Dwayne Andreas, and had been given to Bernard Barker. Kenneth claimed he was involved in fundraising in the Midwest for the campaign to re-elect President Nixon.

During the fundraising, Dwayne Andreas, the president director of Archer Daniels Midland, a conglomerate engaged in agriculture in the Midwest, made a contribution through Bernard Barker and the check was later conveyed to Maurice Stans, the financial chairman of the Committee to Re-Elect The President (CRP).

This money was believed to have been used for President Nixon's re-election campaign.
Bank drafts worth $89,000 (comprising $15,000, $18,000, $24,000 and $32,000), that were identified as being drawn by Banco Internacional on April 5, 1972 from Manuel Ogarrio D'Aquaerro, a public prosecutor of Mexico, who also owned Compania de Azuere Veracruz, S.A (CAVSA), provided a clue in the investigations.

Investigators were trying to discover the origin of the fund obtained by the prosecutor, and then what it had to do with Maurice Stans in the above case. They knew CAVSA was a subsidiary of Gulf Resources and Chemical Company, Houston, Texas, and that it was no longer active.
According to their investigations, on April 3, 1972 Gulf Resources transferred $100,000 from its account at First National City Bank, Houston, to prosecutor Manuel Ogarrio in Mexico City.
They were informed that after buying bank drafts, Manuel Ogarrio delivered the $100,000, made up of the $89,000 worth of bank drafts and $11,000 in cash, through a courier, to Houston on April 5, 1972.

From Houston the money was given to the oil entrepreneurs committee, in which the Gulf Resources CEO was a member.
Investigations of Robert Allen, the CEO of Gulf Resource and Chemical Company, provided the following information:
On April 3, 1972, Gulf Resources transferred money to Manuel Oggario D'Aquaerro worth $100,000 for his services in closing CAVSA; However, Robert Allen said he possessed promissory notes issued by Manuel Oggario.

On April 5, 1972, Manuel Ogarrio lent $100,000 to the Informal Finance (Trust Account - Barker and Associate Inc), and at the same time Manuel Ogarrio received promissory notes.
On April 6, 1972, the $100,000 was conveyed to the Committee to Re-Elect The President (CRP) in the form of four bank drafts worth $89,000 and $11,000 cash.
Robert Allen's information was contradictory to the statement of Bernard Baker - that the $89,000 had been obtained from an American entrepreneur who had deposits in an offshore account.

What else was wrong with this case? On Feb. 7, 1972, President Nixon had signed the Campaign Fund Allocation Reform Act, which came into effect two months later and prohibited the granting of contributions to presidential candidates in the form of cash and donations from anonymous sources.

The contribution made by Dwayne Andreas via Kenneth Dahlberg, Maurice Stans and Bernard Barker involving the Trust Account on April 8, 1972 was provided as an anonymous donation.
The Watergate case is similar to the findings of Indonesia Corruption Watch wherein many donors have allegedly contributed to certain parties without stating clear identities.
In many cases names are given but addresses are unclear and in other cases unemployed persons earning no income have been listed as donors contributing large amounts of funds.
The case shows an indication of money laundering and attempting to conceal or obscure the source and ownership of the fund. The parties involved realized what they were doing was criminal in nature and conspired to cover this up.
Essentially, the crime (already committed) was the granting of a donation for presidential campaign activities by a company, which was prohibited by law.
But the backer then failed to properly report the amount contributed and attempted to hide the names of donors.

Presidential and vice presidential candidates can learn a lesson from the Watergate scandal, to avoid getting entangled as experienced by Nixon.
Political fervor needs further development and economic vigor an extra boost through election campaigns, but the extent of extravagance should be reduced accordingly.
The writer is a PR officer of the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK). The opinions expressed are personal.

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/