Jumat, 09 Juli 2010

Utopia Berburu Bangku Sekolah

Utopia Berburu Bangku Sekolah
Oleh Ira Musmirah

Selasa, 6 Juli 2010
Penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2010/2011 sudah dibuka. Semua anak didik yang lulus sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sederajat sedang berburu bangku sekolah. Mereka mencari sekolah paling baik yang dapat memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik pula bagi dirinya. Setidaknya, dengan memperoleh sekolah yang demikian, yang mereka dapat selama belajar nantinya bisa menjadi modal bagi masa depan di hari kelak.

Namun ironisnya, sangat sulit mencari dan mendapatkan sekolah paling baik (paling berkualitas) jika tidak memiliki modal keuangan yang memadai. Ini ibarat jauh panggang dari api. Mereka akan mengalami kesulitan mendapatkannya, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi karena pekerjaan orangtua bukanlah sebuah profesi yang memberikan pemasukan atau pendapatan yang besar, sebut saja kuli bangunan, tukang becak, dan seterusnya. Alih-alih bisa menyekolahkan ke tempat yang bermutu, untuk makan saja sudah kesusahan. Ini sesungguhnya persoalan yang sangat mendasar.

Akhirnya, bersekolah pun menjadi sebuah barang mahal, sangat sulit dijangkau dan besar kemungkinan bagi sebagian besar masyarakat kita masih merupakan sebuah hal yang langka. Realitas sosial di negeri ini menunjukkan bahwa sangat banyak orang miskin tidak bisa bersekolah karena mahalnya biaya pendidikan. Orang miskin pun akhirnya menjadi sulit berpendidikan (Moh. Yamin, 2009).

Mereka justru harus berhenti bersekolah atau tidak usah bersekolah karena biaya melanjutkan pendidikan atau bersekolah sudah sangat melangit. Kita bisa menemukan banyak orang miskin tidak mampu bersekolah di banyak tempat. Di sekitar wilayah pusat Kota Jakarta, dekat jembatan, lampu merah, dan sejenisnya, misalnya, sangat bertaburan orang miskin yang terpaksa menjadi gelandangan. Begitu juga di kota-kota lain di Indonesia, kondisinya sama dan memilukan.

Mereka terpaksa kehilangan masa depan. Mereka harus berhenti bersekolah karena susahnya membayar biaya pendidikan yang sangat luar biasa mahal. Pendidikan ibarat barang yang dijual di mal-mal yang dihargai dengan sangat tinggi. Ini merupakan sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Banyak orang miskin, walaupun pintar, harus berhenti sekolah.

Yang menjadi pertanyaan, di manakah kehendak politik pemerintah dalam menuntaskan buta aksara? Haruskah para elite daerah di negeri ini selalu berpikiran kerdil dan sempit, sehingga yang selalu dikedepankan adalah kepentingan pribadi dan golongan?

Kenyataan politik selalu mengilustrasikan bahwa keberpihakan para penggawa negara terhadap nasib ribuan anak orang miskin sangat kecil. Walaupun tontonan mengenai potret banyak anak miskin di banyak tempat selalu terlihat dengan mata telanjang oleh para penyelenggara negara ketika mereka melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah, hal tersebut tampaknya tidak pernah menggerakkan hati mereka untuk bisa berbuat yang terbaik bagi semua. Hatinya seperti batu, tidak pernah tergerak untuk mau memperlihatkan kehendak dan komitmen guna melakukan sebuah perubahan bagi kehidupan anak-anak orang miskin. Ini merupakan sebuah kenyataan tak terbantahkan.

Ini merupakan sebuah ironi. Yang miskin pun menjadi masyarakat bodoh dan kemudian diperbudak oleh yang kaya, yang memiliki "duit" dan kekuasaan. Ini merupakan sebuah keniscayaan.

Karena itu, jangan banyak berharap akan terjadi sebuah perubahan tatanan kehidupan yang lebih baik ke depan. Yang terjadi justru sebaliknya, bangsa ini akan makin terpuruk dan terbelakang. Pasalnya, disparitas kehidupan masyarakat sangat melebar. Yang pintar menindas yang tidak pintar.

Bumi Indonesia pun akan tetap dibanjiri bencana kemanusiaan. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah haruskah hak setiap warga negara guna memperoleh pendidikan digagalkan karena faktor miskinnya ekonomi? Padahal Pasal 31 UUD 45 menyebutkan secara tegas bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.

Perubahan Kebijakan

Kesan elitis yang selalu menyatakan bahwa pendidikan yang berkualitas selalu identik dengan biaya tinggi itu harus segera diubah. Pendidikan berkualitas jangan menggunakan pendekatan ekonomi karena ini akan mengakibatkan terjadinya komersialisasi pendidikan (kapitalisme). Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan selalu menitikberatkan pada karakter bangsa (Doni Koesoma A, 2007).

Oleh sebab itu, tanggung jawab penggawa negara harus menggelar itu, jangan ada diskriminasi pelayanan pendidikan. Menunjukkan sikap politik yang bisa merangkul semua adalah sebuah keniscayaan. Pendidikan menjadi hak setiap warga negara, maka harus dipraksiskan secara nyata. Marilah kita belajar untuk bersikap arif dan bijaksana, agar setiap yang kita lakukan bisa memberikan kemaslahatan bersama, bukan kemudaratan.

Berhentilah untuk berpandangan sektoral. Mengubah mindset yang sempit menuju terbuka dalam mencerna realitas sosial merupakan sebuah keniscayaan. Yang terpenting adalah memajukan dunia pendidikan, mendidik anak-anak bangsa agar berkualitas, tanpa pandang bulu. Itu harus menjadi agenda bersama untuk dijalankan.***

Penulis adalah dosen Universitas Islam Malang

Upaya Mengembangkan Wawasan Kebangsaan

Upaya Mengembangkan
Wawasan Kebangsaan
Oleh Fazwan Kusumadinata

Selasa, 6 Juli 2010
Perkembangan politik di Indonesia ke depan memang sulit diramal, sulit diprediksi (unpredictable). Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana proses regenerasi pada tahun-tahun yang akan datang. Tentu kita berharap semua itu (pergantian kepemimpinan nasional) akan lancar-lancar saja.

Yang pasti, generasi tua yang sekarang memimpin bangsa dan menempati posisi-posisi penting dalam kepemimpinan nasional, cepat atau lambat, akan turun dari gelanggang politik. Generasi muda mau tidak mau harus tampil dalam kepemimpinan nasional, dan karena itu perlu mempersiapkan diri. Kita semua berharap agar proses regenerasi bisa berlangsung secara alamiah, tidak sampai terjadi gejolak yang memakan korban.

Banyak pihak, khususnya para analis politik, memperkirakan bahwa pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 akan terjadi proses regenerasi total, akan muncul pemimpin baru. Pemimpin baru itu (presiden dan wakil presiden, misalnya) nanti siapa, kita tidak tahu.

Bangsa ini adalah bangsa yang besar dan sangat heterogen, baik suku, agama, maupun adat istiadat. Karena itu, siapa pun yang akan memimpin bangsa ini ke depan, kita harapkan adalah figur yang baik, yang berkualitas, yang mempunyai kemampuan untuk memimpin bangsa ini.

Dalam perjalanan sejarah, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai peristiwa penting. Tak kurang dari 350 tahun bangsa ini pernah dijajah oleh bangsa asing. Kemudian, ada Hari Kebangkitan Nasional 1908, ada Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Rangkaian peristiwa sejarah tersebut memiliki arti penting dalam kehidupan kebangsaan kita dan mampu membentuk satu kesatuan tekad, cita-cita, dan tujuan awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuan awal itu ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pengalaman sejarah tersebut hendaknya dapat menjadi acuan bangsa ini ke depan dalam menghadapi tantangan global. Kita sebagai bangsa oleh Tuhan dikaruniai sumber daya yang lengkap dan melimpah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sumber daya alam itu seharusnya menjadikan bangsa ini hidup sejahtera, adil, dan makmur.

Namun, kenyataannya, pada saat ini bangsa kita tengah menghadapi berbagai persoalan dan terjadi disorientasi fungsi kehidupan sosial kebangsaan. Sebagai bangsa, kita juga sedang mengalami berbagai kemunduran, baik dari segi ekonomi, politik maupun moral.

Persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, perlu segera diatasi. Bangsa ini telah memiliki Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus roh dalam perjalanan kita ke depan, dengan segala persoalan yang kita hadapi.

Permasalahannya, banyak elite bangsa ini seperti tidak mau memahami dan tidak mampu menjabarkan semangat dan roh Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Jika tidak, berbagai masalah itu bisa saja mendistorsi makna dan cita-cita kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Prinsipnya, ke depan perlu ada kemauan bersama seluruh komponen bangsa untuk bersatu padu memajukan bangsa ini, sebagaimana semangat awal kebangkitan nasional yang digagas oleh founding fathers dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI ini.

Kita mempunyai semangat kebangsaan yang tinggi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para pendiri republik tercinta ini. Semangat kebangsaan-semangat cinta pada bangsa dan tanah air-seperti inilah yang kini luntur. Kalau orang mencintai bangsa dan tanah airnya, tentu dia akan merasa malu mengeruk uang negara yang akibatnya dapat menyengsarakan rakyat banyak.

Celakanya, kini banyak orang yang dengan tidak malu-malu melakukan korupsi. Seorang pegawai pajak golongan rendah pun konon telah memiliki kekayaan puluhan, bahkan hingga ratusan miliar rupiah. Ini sungguh menyakitkan hati rakyat.

Di samping itu, tampaknya kita telah terjebak dalam persoalan-persoalan seperti fanatisme kedaerahan, egoisme kesukuan, silang pendapat, dan sikap otoritarian. Sikap seperti inilah yang menjadikan bangsa ini mundur, mengalami degradasi mental, dan disorientasi.

Seperti penulis singgung pada awal tulisan ini, cepat atau lambat akan terjadi proses regenerasi. Secara alamiah generasi tua akan turun dari panggung politik, digantikan oleh generasi yang lebih muda. Karena itu, mau tidak mau generasi muda harus mempersiapkan diri.

Dalam kaitan itu, beberapa hal penting harus diperhatikan. Pertama, pembangunan karakter dan mental (nation and character building) perlu lebih dikedepankan. Kita yakin,

bangsa yang bermental kuat dan memiliki semangat juang yang tinggi akan mampu melewati berbagai persoalan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan perlu diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar penciptaan individu yang kuat dan berkarakter sekaligus memiliki integritas di samping intelektualitas.

Kedua, ini yang menurut hemat penulis sangat penting, bersamaan dengan itu kita perlu terus-menerus mengupayakan pendalaman dan pengembangan wawasan kebangsaan. Generasi muda tidak boleh terseret pada kecenderungan fanatisme kedaerahan dan kesukuan. Roh Bhinneka Tunggal Ika hendaknya tertanam di hati sanubari segenap bangsa ini, termasuk generasi muda. Kita harus menghindari sekat-sekat primordial di antara sesama komponen bangsa.

Ketiga, semua elite politik di negeri, baik yang ada di Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, maupun yang ada di partai-partai lain, perlu berupaya mewujudkan pembangunan iklim politik yang sehat dan dinamis. Kita menyadari peran politik sangat menentukan stabilitas suatu negara dan bangsa. Semua elite politik harus mampu menciptakan situasi dan kondisi politik yang bisa mempercepat proses pembangunan menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat.***

Penulis adalah Ketua DPP AMP

Nasib Guru Bantu

Nasib Guru Bantu


Selasa, 6 Juli 2010
Cerita tentang nasib guru bantu, baik di DKI Jakarta maupun di daerah-daerah, selalu saja tidak mengenakkan. Di daerah-daerah, banyak guru bantu yang sudah mengabdi di dunia pendidikan selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang belasan tahun (seperti kita baca di koran) posisinya masih juga tidak jelas.

Mereka tidak bisa segera diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), dengan alasan yang tidak terlalu jelas. Sudah dalam kondisi begitu pun, honornya yang relatif kecil itu sering terlambat datang. Lebih celaka lagi, ada yang honornya "disunat" oleh oknum aparat di instansi tersebut untuk kepentingan ini, kepentingan itu dan sebagainya.

Meski demikian, mereka toh tetap setia menjalankan tugas panggilannya di dunia pendidikan (mengajar), turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, sampai kapan mereka terus-menerus harus bersabar? Kapan mereka segera diangkat menjadi CPNS, sebagai abdi negara?

Itu ternyata tidak hanya terjadi di daerah-daerah. Di DKI Jakarta pun, konon tak kurang dari 6.853 guru bantu yang juga tidak kenal lelah memperjuangkan nasibnya. Bahkan, dari jumlah itu, banyak di antaranya yang sudah belasan tahun tetap saja masih sebagai guru bantu. Mereka tidak pernah berhenti berharap. Mereka terus menuntut agar Gubernur DKI Fauzi Bowo segera mengangkat statusnya menjadi CPNS.

Untuk menuntut peningkatan status kepegawaiannya itu bahkan mereka sampai-sampai menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota, dengan membawa peralatan masak. Itu yang kami lihat pekan lalu. Ya, pada era reformasi ini, semua kita (termasuk guru bantu) punya hak untuk menyatakan pendapat dan harapannya, termasuk melalui aksi demo. Mudah-mudahan orang-orang yang "di atas" mau mendengar dan memperhatikan mereka.

Masih soal guru, di koran ini juga diberitakan adanya guru-guru dan karyawan di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta Timur yang pelesiran ke Singapura dan Batam.

Waduh-waduh, di satu pihak ada ribuah guru bantu yang nasibnya belum jelas, namun di pihak lain ada guru-guru yang begitu makmur hingga bisa pelesiran ke luar negeri. Ibaratnya, ada sekelompok kecil guru yang dengan enaknya makan roti keju dan tak mau tahu saudaranya yang makan singkong.

Kalau berita di koran itu benar, di manakah hati nurani Anda, wahai Bapak-Ibu Guru? Tega betul Anda pelesiran ke luar negeri, sementara di sekolah Anda sendiri ada siswa yang karena belum melunasi angsuran uang pangkal, rapornya masih ditahan pihak sekolah. Tidak malukah Anda pelesiran ke luar negeri, sementara ribuah guru bantu di DKI Jakarta dan di berbagai daerah nasibnya tidak jelas?

Ya, bersenang-senang ke luar negeri, siapa pun boleh, termasuk para guru. Namun, kalau dana yang dipakai untuk pelesiran itu hasil dari "bisnis" di dunia pendidikan (sudah bukan berita baru lagi bahwa biaya pendidikan di zaman ini sungguh mencekik leher rakyat kecil), menurut kami, itu tidak etis.

Sari Marhaensakti
Pedurenan, Tangerang, Banten

Pendidikan Berbasis Kreativitas

Pendidikan Berbasis Kreativitas


Kamis, 8 Juli 2010
Saat ini pendidikan di Indonesia lebih ditekankan pada penguasaan konsep dan materi. Memang, ini bukan hal yang salah. Namun, kegiatan berbasis aplikasi atau praktik juga harus diperhatikan keberadaannya. Saat ini, siswa, terutama yang berada di jenjang SD-SMP-SMA, lebih dituntut berada dalam kelas. Mereka mendengarkan guru berbicara dan memutar slide power point (bagi kelas berbasis ICT) yang membuat mereka bosan. Kemudian setelah guru selesai menerangkan, mereka diberi kesempatan untuk menjawab.

Sebenarnya pendidikan yang seperti ini tak cukup. Siswa membutuhkan "ladang" untuk berekspresi yang dapat mereka gunakan untuk mengaplikasikan teori yang telah mereka terima. Mereka ingin menyalurkan kreativitas yang mereka miliki.

Pendidikan berbasis praktik dapat memperlihatkan hasil nyata dari pendidikan yang di dalamnya terdapat aspek penguasaan konsep. Namun, lantas pendidikan jangan hanya berbasis praktik saja dan kemudian beranggapan bahwa teori itu tak perlu. Bukan seperti itu!

Dalam benak penulis, konsep pendidikan yang ada seharusnya memiliki bobot yang berimbang antara teori dan aplikasi (praktik). Selama ini penulis bertanya-tanya, sebenarnya apa, sih, hasil dari proses pendidikan yang ditempuh selama 12 tahun bersekolah (SD-SMP-SMA)? Apakah hanya gelar kejuaraan semata karena berhasil meraih peringkat 3 besar?

Belajar selama 12 tahun di sekolah, menguasai konsep-konsep, tapi tak membuahkan hasil nyata selain hanya sebuah gelar kejuaraan. Hal inilah yang menjadi kegelisahan penulis.

Seharusnya dengan hasil selama 12 tahun melalui proses pendidikan, seorang siswa bisa menciptakan sebuah produk hasil dari penguasaan konsep teori yang mereka terima di bangku sekolah. Inilah yang dimaksud dengan pendidikan berbasis praktik atau aplikasi. Jika hal yang terjadi demikian, maka ketika ada yang bertanya mengenai hasil pendidikan, dengan mudah ia akan menjawab, "Saya telah menciptakan produk, robot, dan alat." Atau kemudian ia akan menjawab, "Saya telah berhasil membuat buku, desain program, dan sebagainya."

Produk hasil penguasaan konsep yang mereka buat adalah berdasarkan pada kreativitas masing-masing. Ada yang menyukai sastra, maka ia akan membuat sebuah karya sastra (entah puisi, cerpen, novel, dan sebagainya) yang di dalamnya termuat konsep teori yang selama ini ia terima. Atau, bagi yang menyukai gambar, maka ia akan membuat sebuah poster, lukisan, atau apa pun yang di dalam gambar tersebut ia menuangkan teori-teori yang telah ia kuasai.

Jika yang demikian teraplikasi dalam kegiatan pendidikan di Indonesia, maka yang terjadi adalah generasi-generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang tak hanya hebat dalam menjawab dan mengerjakan soal saja. Tetapi, ia dapat membuat produk-produk hasil belajar mereka selama ini.

Wallahu a'lam bishshawab.

Ika Feni Setiyaningrum
Karang Malang
Yogyakarta 55281

Isra' Mi'raj dan Shalat "Kemanusiaan"

Oleh Anton Prasetyo

Jumat, 9 Juli 2010
Teori innash shalaata tanhaa'anil fahsyaai wal munkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar) [QS Al Ankabuut: 45] dalam artian, shalat menjadi barometer seluruh amal perbuatan manusia, tidak ada yang berani membantah. Kendati demikian, jemaah kita sering mempertanyakan realisasi teori yang ada. Betapa tidak, di lapangan, banyak kaum muslimin yang giat mengerjakan shalat, namun tidak hentinya dalam mengerjakan kemungkaran.

Terekam dalam ingatan kita, betapa kehidupan yang ada penuh dengan kesemrawutan persoalan. Semua tidak lepas dari perbuatan mungkar. Di sekitar kita, jumlah koruptor makin hari makin banyak jumlahnya. Keluarga yang melakukan ke-zaliman terhadap saudaranya juga terjadi di mana-mana. Para pengusaha menzalimi pekerjanya telah dianggap sebagai hal yang wajar. Begitu seterusnya. Sementara, saat mempertanyakan orang yang melakukan perbuatan mungkar, mereka aktif mengerjakan shalat lima waktu, bahkan ditambah shalat sunahnya.

Berakar dari sinilah menjadi pertanyaan besar akan firman Tuhan yang termaktub di atas, apakah memang benar firman yang ada? Jika sekilas menilainya, barangkali saja semua di antara kita akan menjawab bahwa firman Tuhan tersebut tidak terbukti di lapangan. Terbukti, tidak semua orang yang mengerjakan shalat bisa menjadikan dirinya sebagai seorang yang saleh kepada sesama. Namun, akan menjadi berbeda saat jawaban yang kita utarakan menggunakan proses panjang, penuh dengan analisis yang matang. Dengan proses yang panjang, dalam diri kita akan dengan mudah menerima kebenaran firman Tuhan di atas. Kita akan bisa membenarkannya.

Adanya permasalahan betapa banyak kaum muslimin yang mengerjakan shalat, namun tetap menjalankan perbuatan kemaksiatan, perlu diteliti, bagaimanakan cara yang dilakukan sang mushalli (orang yang mengerjakan shalat)? Benarkah shalat yang dilakukan telah sesuai dengan yang diajarkan dalam agama? Selain syarat dan rukunnya terpenuhi, sudahkah shalat mereka khusyuk? Bagaiamanapun, dalam ibadah shalat tujuan utama adalah mendekatkan diri kepada Allah. Sementara shalat yang bisa mendekatkan diri kepada Allah tidak lain dan tidak bukan adalah shalat yang khusyuk. "Alladziina hum fii shalaatihim khaasyi'uun (yaitu mereka yang dalam mengerjakan shalatnya dengan khusyuk)," firman Allah.

Shalat khusyuk menjadi kunci utama keberhasilan shalat dikarenakan di dalamnya terkandung beragam perkara yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Shalat khusyuk setidaknya memiliki beberapa ciri. Adanya kepemimpinan dalam shalat berjemaah, adanya rasa cinta kasih sebagaimana yang ada dalam surah al-Fatihah, adanya ketawaduan sebagaimana dalam sujud, hingga adanya tebar salam dalam setiap mengakhiri shalat.

Kepemimpinan dalam shalat berjemaah dapat dipraktikkan langsung dalam kehidupan nyata. Shalat berjemaah mengisyaratkan keberhasilan kehidupan dengan perolehan derajat yang berlipat. Dalam shalat jamaah, setiap orang yang mengerjakan shalat di dalamnya akan diberi pahala 27 kali lipat dibandingkan dengan shalat sendirian. Kenyataan ini sama halnya dengan kehidupan nyata, saat menyendiri, dipastikan akan banyak ketidakberhasilan dalam beragam hal. Namun saat bergabung, berorganisasi, dan kerja sama dengan baik, dipastikan kesuksesan besar akan menjadi perolehan setiap individu.

Shalat berjemaah juga mengajarkan agar seorang imam adalah orang yang paling aqro' (bacaan al-Qur'an-nya bagus), faqih (ahli fikih) dan sebagainya. Sementara makmum harus patuh tunduk kepada apa yang dilakukan imam. Makmum tidak boleh berada di depan atau bergerak lebih dahulu dibanding imam. Jika itu dilakukan, maka shalat makmum dianggap batal.

Di samping itu, seorang makmum juga harus mengikuti seluruh gerak-gerik imam, dan mengingatkan saat sang imam lupa mengerjakan rukun fi'li (perbuatan) atau qauli (bacaan). Ini mengisyaratkan dalam kehidupan nyata meski diterapkan adanya kepemimpinan (leadership) yang baik. Seorang pemimpin harus berjiwa leadership, sementara anggotanya juga harus tunduk patuh dan mendukung sang pemimpin, dengan cara mengikuti dan memberikan masukan demi terselenggaranya kepemimpinan yang sempurna.

Al-Fatihah yang harus dibaca dalam setiap shalat memiliki pesan cinta kasih yang begitu mendalam. Dimulai dari basmalah, terdapat kata-kata ar-Rahmaan dan ar-Rahiim yang semuanya berarti "kasih sayang", hingga ayat terakhir, ghairi al-maghdlubi 'alaihim wala ad-dhalin (bukan jalan orang-orang yang zalim) adalah pesan cinta Tuhan yang mesti dipraktikkan manusia. Sehingga dari sini, jika saja dalam kehidupan nyata selalu ada nada-nada cinta yang muncul dan dipraktikkan oleh setiap individu kepada siapa pun, dipastikan kehidupan akan berjalan dengan baik. Kemungkaran tidak terjadi di mana-mana.

Sementara sujud menjadi bagian penting dalam shalat juga memiliki makna yang luas dalam kehidupan nyata. Dalam sujud dapat diambil hikmah bahwa setiap orang harus mengakui bahwa dirinya adalah sosok yang tidak memiliki apa-apa, tidak patut untuk merasa "paling" dari yang lain. Manusia harus merasa dirinya adalah hina sehingga dapat tunduk kepada Tuhan-nya dan menghormat kepada sesama.

Di akhir shalat ada salam. Ini adalah isyarat bahwa seseorang yang telah mengerjakan shalat yang notabene diperuntukkan bagi Tuhannya, harus memulai bersosial, menebar keselamatan kepada siapa pun. Jika dalam shalat seseorang bisa khusyuk, melaksanakan syarat rukunnya dengan baik serta mengingat kepada Allah dengan penuh ketawaduan, serta setelah shalat dapat menebar salam serta bisa menerjemahkan proses shalat ke dalam kehidupan nyata, maka kesalehan kepada Tuhan dan kesalehan kepada sesama akan terwujud. Sehingga dari sini shalat yang dijadikan tanhaa 'anil fahsyaai wal munkar akan terwujud.

Sekarang yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama adalah mengupayakan agar diri setiap individu tudak hanya bisa shalat secara kontinu, namun juga khusyuk dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Dengan penuh keseriusan, dimulai dari sekarang, saat peringatan Isra' Mi'raj, di mana Nabi menerima perintah shalat secara langsung dari Allah, dipastikan setiap kita akan dapat berhasil dan bisa memperoleh predikat mu'min, sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam surat Al-Mu'minun. Wallahu a'lam. ***

Penulis adalah Ketua Jam'iyyah Qurra'wal Huffad
PP Nurul Ummah DIY, alumnus UMY dan UIN Yogyakarta

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/