Selasa, 26 Oktober 2010

SEBERAPA PENTINGKAH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR?

Oleh :

Muhammad Fajri



A. LATAR BELAKANG

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan peluang kepada tiap-tiap satuan pendidikan terutama pendidik yang dalam hal ini merupakan satu komponen yang langsung berperan dalam proses pembelajaran untuk mengolah dan mengatur proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Telah banyak perubahan paradigma dalam pendidikan khususnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran menjadi lebih mementingkan peran peserta didik dan karakteristik sumber daya yang ada pada tiap-tiap satuan pendidikan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, oleh karenanya peserta didiklah yang diharapkan dapat berperan aktif dalam mengeksplorasi dan menginterpretasikan pengetahuan dan permasalahan baru yang dibandingkan, dikombinasi, dan dianalisa dengan pengetahuan dasar yang telah dimiliki oleh peserta didik.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan menyatakan bahwa “Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan,”[1] ini mengindikasikan bahwa satuan pendidikan sebagai pelaksana proses pendidikan perlu berbenah diri dalam rangka proses mencerdaskan anak bangsa sehingga amanat dalam PP tersebut dapat terrealisasikan dengan baik.

Proses pembelajaran menjadi lebih diutamakan daripada hasil belajar yang diperoleh. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered) cenderung lebih memperlihatkan paradigma pendidikan saat ini, sebagaimana yang terkandung dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Hal ini merupakan satu hal mengapa media pembelajaran sangat diperlukan dalam proses pembelajaran.

Media pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapat perhatian pendidik sebagai fasilitator dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu tiap-tiap pendidik perlu mempelajari bagaimana menetapkan media pembelajaran agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.

Pada kenyataannya media pembelajaran masih sering terabaikan dengan berbagai alasan,diantaranya: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar bagi pendidik sebagai pendidik, kesulitan untuk mencari model dan jenis media yang tepat, ketiadaan biaya yang sebagian dikeluhkan, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap pendidik telah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan mengenai media pembelajaran.

Satuan pendidikan dasar dalam kaitannya dengan penerapan KTSP harus menerapkan proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik bukan lagi menggunakan paradigma lama seperti datang, duduk, diam, dengarkan, dan dilarang bertanya (apalagi yang macam-macam). Peserta didik didorong untuk lebih kritis dalam melaksanakan dan mengikuti proses pembelajaran sehingga pembelajaran akan berjalan secara optimal.

B. PEMBATASAN MASALAH

Bahasan mengenai media khususnya media yang digunakan di satuan pendidikan dasar dalam proses pembelajaran sangat luas cakupannya. Oleh sebab itu, pembahasan dalam makalah sederhana ini saya batasi dalam hal penggunaan media pembelajaran di satuan pendidikan dasar yang mencakup ; pengertian media secara luas, pengertian media pembelajaran, gambaran umum penggunaan media pembelajaran di satuan pendidikan dasar dan, peranan media dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan dasar.

C. PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN

Banyak kalangan mendefinisikan tentang media secara umum, namun ada yang lebih spesifik dalam mengartikan media dan media pembelajaran. Media pembelajaran terdiri dari dua kata yaitu media dan pembelajaran. Definisi yang lebih rinci akan saya bahas lebih lanjut dalam ulasan di bawah ini.

1. Media

Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar

Menurut KBBI, media dapat diartikan sebagai perantara, penghubung; alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya) Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi[2].

Beberapa pakar/ahli media menyatakan definisi media dengan berbagai batasan-batasan tertentu. Gagne mengartikan media sebagai berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar[3]. Sedangkan, Heinich, Molenda, dan Russel menyatakan bahwa : “A medium (plural media) is a channel of communication, example include film, television, diagram, printed materials, computers, and instructors (Media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur)[4]. AECT (Assosiation of Education and Communication Technology, 1977), memberikan batasan media sebagai segala bentuk saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. NEA (National Education Assosiation) memberikan batasan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak, audio visual, serta peralatanya[5].

Dari beberapa batasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa media merupakan segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk meyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, dapat membangkitkan semangat, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran pada diri peserta didik.

2. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan bentuk jamak dari kata belajar yang mempunyai kata dasar ajar, ajar menurut KBBI petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut), belajar merupakan suatu usaha untuk memperoleh kepandaian/ilmu[6]. Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha pendidik/pendidik untuk membuat para peserta didik melakukan proses belajar. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para peserta didiknya. Kegiatan belajar hanya akan berhasil jika si belajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar. Seorang pendidik tidak dapat mewakili belajar peserta didiknya. Seorang peserta didik belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan dengan pendidik yang sedang mengajar. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan pendidik untuk membuat peserta didik belajar. Peran yang seharusnya dilakukan pendidik adalah mengusahakan agar setiap peserta didik dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber balajar yang ada.

3. Media pembelajaran

Media pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu pendidik dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (peserta didik). Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili pendidik menyajiakan informasi belajar kepada peserta didik. Jika program media itu didesain dan dikembangkan secara baik, maka fungsi itu akan dapat diperankan oleh media meskipun tanpa keberadaan pendidik[7].

Brown mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu pendidik untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet[8]. Sedangkan National Education Association mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah “sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras[9]”.

Dari beberapa pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan ”segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.”

Ciri-ciri khusus media pembelajaran berbeda menurut tujuan dan pengelompokanya. Ciri-ciri media dapat dilihat menurut kemampuannya dalam membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Maka ciri-ciri umum media pembelajaran adalah bahwa media itu dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indera. Di samping itu ciri-ciri media juga dapat dilihat menurut harganya, lingkup sasaranya, dan kontrol oleh pemakai.

Tiap-tiap media mempunyai karakteristik yang perlu dipahami oleh pemakainya. Dalam memilih media, orang perlu memperhatikan tiga hal, yaitu[10]:

1. Kejelasan maksud dan tujuan pemilihan tersebut,
2. Sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih,
3. Adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan karena pemilihan media pada dasarnya adalah proses pengambilan keputusan akan adanya alternatif-alternatif pemecahan yang dituntut oleh tujuan.

D. JENIS MEDIA PEMBELAJARAN

Media secara umum merupakan suatu hal yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan tertentu. Agar proses transformasi pesan tersebut maka diperlukan kesesuaian jenis media yang akan digunakan. Beberapa klasifikasi mengenai media menurut beberapa ahli sangat beragam hal ini dilihat dari sudut pandang mana jenis-jenis media ini dikelompokkan.

Menurut Heinich, Molenda, Russel[11] jenis media yang lazim dipergunakan dalam pembelajaran antara lain : media nonproyeksi, media proyeksi, media audio, media gerak, media komputer, komputer multimedia, hipermedia, dan media jarak jauh.

Jenis media secara umum yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran, antara lain;

1. Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, diagram, kartun, poster, dan komik,
2. Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk model padat, model penampang, model susun, model kerja, dan diorama,
3. Media proyeksi seperti slide, film stips, film, dan OHP,
4. Lingkungan sebagai media pembelajaran.

Berdasarkan ulasan yang ditulis oleh Ahmad Sudrajat, M.Pd dalam blognya[12], beliau mengatakan bahwa dalam media pembelajaran, terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya ;

* Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik,
* Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya,
* Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya,
* Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

E. MANFAAT MEDIA

Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.

Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek yang disebabkan karena:

(a) objek terlalu besar,

(b) objek terlalu kecil,

(c) objek yang bergerak terlalu lambat,

(d) objek yang bergerak terlalu cepat,

(e) objek yang terlalu kompleks,

(f) objek yang bunyinya terlalu halus,

(g) objek yang mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.

Media pembelajaran yang memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya. Media menghasilkan keseragaman pengamatan. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit, dan realistis. Media membangkitkan keinginan dan minat baru. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang kongkrit sampai dengan abstrak.Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media[13].

Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya[14]. Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersediaan fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

Thorn[15], mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif. Kriteria penilaian yang pertama adalah kemudahan navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin sehingga pembelajaran bahasa tidak perlu belajar komputer lebih dahulu. Kriteria yang kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah pengetahuan dan presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai isi dari program itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan pembelajaran si pembelajar atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media di mana media harus mengintegrasi aspek dan keterampilan bahasa yang harus dipelajari. Untuk menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu seorang selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar sesuatu.

Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara pendidik dengan peserta didik sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien. Sedangkan secara lebih khusus manfaat media pembelajaran adalah:

1. Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan

Dengan bantuan media pembelajaran, penafsiran yang berbeda antar pendidik dapat dihindari dan dapat mengurangi terjadinya kesenjangan informasi diantara peserta didik dimanapun berada.

2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik

Media dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna, baik secara alami maupun manipulasi, sehingga membantu pendidik untuk menciptakan suasana belajar menjadi lebih hidup, tidak monoton dan tidak membosankan.

3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif

Dengan media akan terjadinya komukasi dua arah secara aktif, sedangkan tanpa media pendidik cenderung bicara satu arah.

4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga

Dengan media tujuan belajar akan lebih mudah tercapai secara maksimal dengan waktu dan tenaga seminimal mungkin. Pendidik tidak harus menjelaskan materi ajaran secara berulang-ulang, sebab dengan sekali sajian menggunakan media, peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran.

5. Meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik

Media pembelajaran dapat membantu peserta didik menyerap materi belajar lebih mandalam dan utuh. Bila dengan mendengar informasi verbal dari pendidik saja, peserta didik kurang memahami pelajaran, tetapi jika diperkaya dengan kegiatan melihat, menyentuh, merasakan dan mengalami sendiri melalui media pemahaman peserta didik akan lebih baik.

6. Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja

Media pembelajaran dapat dirangsang sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar dengan lebih leluasa dimanapun dan kapanpun tanpa tergantung seorang pendidik.Perlu kita sadari waktu belajar di satuan pendidikan sangat terbatas dan waktu terbanyak justru di luar lingkungan satuan pendidikan.

7. Media dapat menumbuhkan sikap positif peserta didik terhadap materi dan proses belajar

Proses pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga mendorong peserta didik untuk mencintai ilmu pengetahuan dan gemar mencari sendiri sumber-sumber ilmu pengetahuan.

8. Mengubah peran pendidik ke arah yang lebih positif dan produktif

Pendidik dapat berbagi peran dengan media sehingga banyak mamiliki waktu untuk memberi perhatian pada aspek-aspek edukatif lainnya, seperti membantu kesulitan belajar peserta didik, pembentukan kepribadian, memotivasi belajar, dan lain-lain.

F. PERANAN MEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN DI SATUAN PENDIDIKAN DASAR

Kenyataannya, peranan media pembelajaran di satuan pendidikan dasar kurang begitu diperhatikan oleh pendidik. Peserta didik yang seharusnya dapat mengoptimalkan pembelajaran dengan baik, namun karena tidak didukung dengan penggunaan media pembelajaran yang relevan cenderung menjadikan peserta didik menjadi verbalistik (hanya sebatas teori tanpa didukung dengan data yang konkrit). Sebagai contoh, peserta didik mempelajari jenis alat transportasi darat berupa delman, di Jakarta sebagaimana di tempat saya bertugas, tidak semua peserta didik di satuan pendidikan dasar mengenal, mengetahui, dan memahami delman sebagaimana kenyataannya karena tidak semua peserta didik pernah menjumpai kereta beroda dua ini. Oleh sebab itu, penggunaan media untuk menghilangkan kesan verbalistik ini mutlak sangat dibutuhkan.

Penggunaan media pembelajaran pada tiap satuan pendidikan saat ini sangat dianjurkan bahkan diupayakan untuk ada pada tiap-tiap proses pembelajaran khususnya di tingkat satuan pendidikan dasar. Media ini tentunya tidak hanya atas dasar ada saja, tetapi kesesuaian dan ketepatan penggunaan dalam proses penyampaian pesan pembelajaran yang akan diberikan.

Peranan media yang semakin meningkat sering menimbulkan kekhawatiran pada pendidik. Namun sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, masih banyak tugas pendidik yang lain seperti memberikan perhatian dan bimbingan secara individual kepada peserta didik yang selama ini kurang mendapat perhatian. Kondisi ini akan terus terjadi selama pendidik menganggap dirinya merupakan satu-satunya sumber dalam proses pembelajaran. Jika pendidik memanfaatkan berbagai media pembelajaran secara baik, pendidik dapat berbagi peran dengan media. Peran pendidik akan lebih mengarah sebagai manajer pembelajaran dan bertanggung jawab menciptakan kondisi sedemikian rupa agar peserta didik dapat belajar secara optimal. Untuk itu pendidik lebih berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, motivator dan fasilitator dalam proses pembelajaran[16].

G. KRITERIA PEMILIHAN MEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Menurut Wilkinson[17], terdapat beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam memilih maupun menggunakan sebuah media pembelajaran, yakni :

1. Tujuan

Media yang dipilih hendaknya menunjang tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Tujuan yang dirumuskan ini adalah kriteria yang paling cocok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan kelengkapan dari kriteria utama.

1. Ketepatgunaan

Jika materi yang akan dipelajari adalah bagian-bagian yang penting dari benda, maka gambar seperti bagan dan slide dapat digunakan. Apabila yang dipelajarai adalah aspek-aspek yang menyakut gerak, maka media film atau video akan lebih tepat. Wilkinson menyatakan bahwa penggunaan bahan-bahan yang bervariasi menghasilkan dan meningkatkan pencapain akademik.

1. Keadaan peserta didik

Media akan efektif digunakan apabila tidak tergantung dari beda interindividual antara peserta didik. Msialnya kalau peserta didik tergolong tipe auditif/visual maka peserta didik yang tergolong auditif dapat belajar dengan media visual dari peserta didik yang tergolong visual dapat juga belajar dengan menggunakan media auditif.

1. Ketersediaan

Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tuuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut wilkinson, media merupakan alat mengajar dan belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi keperluan peserta didik dan pendidik.

1. Biaya

Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menggunakan media, hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil-hasil yang akan dicapai.

Dalam kaitannya dengan pemilihan media pembelajaran yang sesuai dan tepat guna, kriteria yang paling utama adalah media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Sebagai contoh, bila tujuan atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atua kompetnesi yang dicapai bersifat mehamai isi bacaan maka media cetak y ang lebih tepat digunakan. Bila tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan ativitas), maka media film dan video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer).

H. KESIMPULAN DAN SARAN TINDAK LANJUT

Media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Sedangkan pembelajaran adalah usaha pendidik untuk menjadikan peserta didik melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan informasi dari pendidik ke peserta didik sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat peserta didik dan pada akhirnya dapat menjadikan peserta didik melakukan kegiatan belajar. Manfaat media pembelajaran tersebut adalah: penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan, proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik, proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, efisiensi dalam waktu dan tenaga, meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik, memungkinkan proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, menumbuhkan sikap positif peserta didik terhadap materi dan proses belajar serta mengubah peran pendidik ke arah yang lebih positif dan produktif.

Penggunaan media dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan dasar sampai saat ini Pada kenyataannya, penggunaan media memang kurang diperhatikan. Oleh karenanya, tiap pendidik hendaknya memahami benar peranan media dalam proses pembelajaran.

Sebagaimana telah dipaparkan di depan tingkat ketuntasan proses pembelajaran peserta didik yang didukung dengan penggunaan media pembelajaran sangat signifikan karena hal ini dapat menghilangkan kesan verbalistik dalam pola pemahaman peserta didik sebagai siswa. Sudah selayaknya pendidik sebagai seorang guru untuk menggunakan media pembelajaran dengan memanfaatkan limbah-limbah rumah tangga yang masih dapat digunakan. Itulah peranan pendidik dalam mengembangkan proses pembelajaran yang berhasil dan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. Teori & Praktek Pembelajaran Pendidikan
Dasar. 2007

Burden, Paul R. Methods For Effective Teaching—2nd Edition. Needham Heights USA: A Viacom Company. 1999

5 Cara Guru Belajar

by AKHMAD SUDRAJAT

5 Cara Guru BelajarPerubahan paradigma pendidikan yang cukup dramatis pada saat sekarang ini, mau tidak mau menuntut para guru untuk dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada. Salah satu cara yang efektif agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada yaitu melalui belajar secara terus menerus. Dengan demikian, tuntutan untuk belajar tidak hanya terjadi pada siswa yang dibelajarkannya, tetapi guru itu sendiri pun justru dituntut untuk senantiasa belajar tentang bagaimana mengajar yang baik. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk belajar, diantaranya:

1.Guru belajar dari praktik pembelajaran yang dilakukannya

Cara belajar guru yang pertama ini dilakukan melalui usaha untuk senantiasa memonitor, menganalisis dan melakukan refleksi atas setiap praktik pembelajaran yang dilakukannya. Melalui cara seperti ini guru akan memperoleh sejumlah pengetahuan dan pemahaman baru (the best practice) tentang siswa, sekolah, kurikulum, dan berbagai strategi pembelajaran. Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas merupakan salah satu bentuk cara belajar guru semacam ini (Cochran-Smith and Lytle, 1993).

2.Guru belajar melalui interaksi dengan guru lain

Cara belajar guru yang kedua dapat dilakukan melalui interaksi dengan guru lain, baik secara formal maupun informal. Secara formal, misalnya melalui kegiatan mentoring (tutorial) yang dilakukan oleh guru senior yang berpengalaman terhadap guru baru (novice), berdasarkan penugasan secara resmi dari sekolah. Dalam hal ini, guru baru dapat menimba berbagai pengetahuan dan keterampilan dari mentornya (Feiman-Nemser and Parker, 1993). Sedangkan secara informal dapat dilakukan melalui kegiatan pembicaraan yang tidak resmi, misalnya pada saat berada di ruang guru, halaman sekolah dan tempat-tempat lainnya yang sifatnya tidak resmi. Bentuk lain belajar melalui interaksi dengan guru lain adalah melalui kegiatan MGMP/MGBK dan pertemuan profesional lainnya, dimana guru dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan. Kegiatan supervisi pembelajaran, baik oleh guru senior, kepala sekolah maupun pengawas sekolah, termasuk ke dalam kategori cara belajar ini. Demikian juga, program lesson study merupakan salah satu bentuk cara belajar guru melalui interaksi dengan guru lain.

3.Guru belajar melalui ahli/konsultan

Cara yang ketiga, guru dapat belajar melalui ahli/konsultan. Dalam kegiatan ini, sekolah menyediakan seorang atau beberapa orang ahli/konsultan khusus dari luar untuk membelajarkan para guru di sekolah. Secara berkala, ahli/konsultan tersebut dihadirkan di sekolah untuk membelajarkan guru, misalnya dalam bentuk workshop atau layanan konsultasi. Melalui cara ini, para guru akan memperoleh pemahaman tentang berbagai inovasi pendidikan sekaligus memperoleh bimbingan dalam penerapannya. Dalam konteks ini, pengawas sekolah (educational supervisor) seyogyanya dapat diposisikan sebagai tenaga konsultan yang dibutuhkan untuk kepentingan peningkatan kemampuan guru.

4.Guru belajar melalui pendidikan lanjutan dan pendalaman

Asumsi yang mendasari cara yang keempat ini, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin lebih baik pula tingkat kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan guru, seyogyanya guru didorong untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan pendalaman akademik. Pendidikan lanjutan artinya guru melanjutkan studi sesuai dengan bidangnya, misalkan seorang guru Bimbingan dan Konseling yang sudah memiliki tingkat pendidikan S1, kemudian dia melanjutkan lagi studinya ke S2 Program Magister Bimbingan dan Konseling, dan seterusnya. Sedangkan pendidikan pendalaman, bisa dilakukan melalui kursus-kursus dan pendidikan alternatif yang relevan. Misalnya, guru Ekonomi yang berlatarbelakang S1 Pendidikan Ekonomi, untuk pendalaman bidang akademiknya dia bisa mengikuti pendidikan S1 alternatif di Fakultas Ekonomi.
Di samping memperoleh kemampuan yang lebih baik, kegiatan pendidikan lanjutan berkolerasi pula dengan tingkat penghasilannya (Renyi, 1996). Di Amerika, kegiatan pendidikan pendalaman banyak dilakukan pada musim summer atau setelah selesai jam sekolah. Demikian pula, di negara-negara tertentu, guru-guru banyak mengikuti program in service trainning dengan dititipkan (pencangkokan) di Perguruan Tinggi untuk beberapa lama.

5.Guru belajar melalui cara yang terpisah dari tugas profesionalnya.

Cara yang kelima ini, guru belajar tentang hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas profesionalnya, seperti pengembangan kemampuan intelektual dan moral terkait perannya sebagai orang tua, mengikuti pelatihan sebagai pengurus organisasi di masyarakat, pelatihan kepemimpinan dalam bisnis dan sebagainya. “They learn about nondidactic forms of instruction…”, demikian dikemukan oleh Lucido (1988). Meski tidak berhubungan langsung dengan tugas profesionalnya, beberapa hasil-hasil pelatihan tersebut dapat ditransfer untuk kepentingan penguatan kemampuannya sebagai guru.

Apakah guru bisa menjadi pekerjaan profesional yang sejatinya?

by AKHMAD SUDRAJAT

pekerjaan profesional Meski saat ini telah lahir Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis profesi guru, tetapi untuk menjadikan guru di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya (A True Professional) tampaknya masih perlu dikaji dan direnungkan lebih jauh.

Wikipedia menyebutkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dari sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya, yakni: (1) academic qualifications – a doctoral or law degree – i.e., university college/institute; (2) expert and specialised knowledge in field which one is practising professionally; (3) excellent manual/practical and literary skills in relation to profession; (4) high quality work in (examples): creations, products, services, presentations, consultancy, primary/other research, administrative, marketing or other work endeavours; (5) a high standard of professional ethics, behaviour and work activities while carrying out one’s profession (as an employee, self-employed person, career, enterprise, business, company, or partnership/associate/colleague, etc.)

Merujuk pada pemikiran Wikipedia di atas, mari kita telaah lebih lanjut tentang guru sebagai seorang profesional. Berdasarkan kriteria yang pertama, seorang guru bisa dikatakan sebagai seorang profesional yang sejatinya apabila dia memiliki latar belakang pendidikan sekurang-sekurangnya setingkat sarjana. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa untuk dapat memangku jabatan guru minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Ketentuan ini telah memacu para guru untuk berusaha meningkatkan kualiafikasi akademiknya, baik atas biaya sendiri maupun melalui bantuan bea siswa pemerintah. Walaupun, dalam beberapa kasus tertentu ditemukan ketidakselarasan dan inkonsistensi program studi yang dipilihnya. Misalnya, semula dia berlatar belakang D3 Bimbingan dan Konseling tetapi mungkin karena alasan-alasan tertentu yang sifatnya pragmatis, dia malah melanjutkan studinya pada program studi lain.

Terkait dengan kriteria kedua, guru adalah seorang ahli. Sebagai seorang ahli, maka dalam diri guru harus tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam (kemampuan kognisi atau akademik tingkat tinggi) yang terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dia harus sanggup mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya. Misalnya, seorang guru Biologi harus mampu menjelaskan, mendeskripsikan, memprediksikan dan mengendalikan tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan Biologi, walaupun dalam hal ini mungkin tidak sehebat ahli biologi (sains).

Selain memiliki pengetahuan yang tinggi dalam substansi bidang mata pelajaran yang diampunya, seorang guru dituntut pula untuk menunjukkan keterampilannya secara unggul dalam bidang pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik), seperti: keterampilan menerapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas, keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar, dan sebagainya. Keterampilan pedagogik inilah yang justru akan membedakan guru dengan ahli lain dalam bidang sains yang terkait. Untuk memperoleh keterampilan pedagogik ini, di samping memerlukan bakat tersendiri juga diperlukan latihan secara sistematis dan berkesinambungan.

Lebih dari itu, seorang guru tidak hanya sekedar unggul dalam mempraktikkan pengetahuanya tetapi juga mampu menuliskan (literary skills) segala sesuatu yang berhubungan bidang keilmuan (substansi mata pelajaran) dan bidang yang terkait pendidikan dan pembelajaran, misalnya kemampuan membuat laporan penelitian, makalah, menulis buku dan kegiatan literasi lainnya. Inilah kriteria yang ketiga dari seorang profesional.

Kriteria keempat, seorang guru dikatakan sebagai profesional yang sejatinya manakala dapat bekerja dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa.

Kepuasaan utama siswa selaku pihak yang dilayani guru terletak pada pencapaian prestasi belajar dan terkembangkannya segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui proses pembelajaran yang mendidik. Untuk bisa memberikan kepuasan ini tentunya dibutuhkan kesungguhan dan kerja cerdas dari guru itu sendiri.

Kritera terakhir, seorang guru dikatakan sebagai seorang profesioanal yang sejati apabila dia dapat berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat bekerja dengan standar yang tinggi. Beberapa produk hukum kita sudah menggariskan standar-standar yang berkaitan dengan tugas guru. Guru profesional yang sejatinya tentunya tidak hanya sanggup memenuhi standar secara minimal, tetapi akan mengejar standar yang lebih tinggi. Termasuk dalam kriteria yang kelima adalah membangun rasa kesejawatan dengan rekan seprofesi untuk bersama-sama membangun profesi dan menegakkan kode etik profesi.

Berdasarkan uraian di atas, ada sebuah refleksi bagi saya dan mungkin juga Anda. Bahwa untuk menjadi guru dengan predikat sebagai profesional yang sejati tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh melalui proses sertifikasi. Tetapi betapa kita dituntut lebih jauh untuk terus mengasah kemampuan kita secara sungguh-sungguh guna memenuhi segenap kriteria yang telah dikemukakan di atas, yang salah satunya dapat dilakukan melalui usaha belajar dan terus belajar yang tiada henti.

Jika tidak, maka kita mungkin hanya akan menyandang predikat sebagai “guru-guruan”, alias pura-pura menjadi guru atau malah mungkin menjadi guru gadungan yang justru akan semakin merusak dan membahayakan pendidikan. Semoga saya dan Anda sekalian tidak termasuk kategori yang satu ini dan mari belajar !

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Posted on 4 September 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Sumber daya manusia yang bermutu adalah investasi masa depan. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang bermutu. Salah satu faktor yang menopang sistem pendidikan yang bermutu adalah tersedianya guru yang profesional.

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No 14 tahun 2005 ayat 1).

Mengingat peran guru yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan, maka seorang guru harus dipersiapkan dengan matang. Persiapan tersebut haruslah berkesinambungan mulai dari pre-service dan pendidikan profesi guru di LPTK sampai menjadi guru pemula di satuan pendidikan.

Pada saat awal seorang guru pemula mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah mereka menghadapi beberapa hambatan antara lain: pengenalan karakteristik peserta didik, budaya sekolah, beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah. Padahal pengenalan guru pemula terhadap situasi sekolah akan menentukan karir dan profesionalitas seorang guru selanjutnya. Salah satu program yang dapat membekali guru pemula dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi guru pada awal mereka bertugas adalah program induksi.

Program Induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi guru pemula pada satuan pendidikan di tempat tugasnya. Induksi guru pemula merupakan proses orientasi kegiatan mengajar dalam konteks satuan pendidikan tertentu, dan menjadi pembelajaran profesional di tempat kerja selama tahun pertama mengajar dan merupakan tahap awal dalam Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPB) seorang guru.

Program Induksi dirancang secara sistematis dan terencana berdasarkan konsep kerjasama dan kesejawatan antara guru pemula, guru pembimbing, guru sejawat, kepala sekolah, dan pengawas dengan pendekatan pembelajaran profesional.

Program Induksi bagi guru pemula didasarkan pada pemahaman bahwa:

1. Pembelajaran di tempat kerja merupakan unsur utama bagi perkembangan dan pembelajaran professional guru pemula, Tahap ini juga berperan penting dalam Pengembangan Profesi Berkelanjutan (PPB).
2. Pembelajaran professional melibatkan guru dan kelompok guru yang mengembangkan praktek dan pemahaman baru tentang pekerjaan mereka.
3. Kerjasama dan dialog professional di sekolah dapat mendukung pembelajaran professional, mengembangkan praktik reflektif dan memperkuat pendekatan kolegalitas untuk perkembangan sekolah.
4. Pembelajaran professional guru merupakan landasan bagi perkembangan sekolah dan peningkatan hasil belajar peserta didik serta peningkatan status profesi.

Penyelenggaraan program induksi bagi guru pemula didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Profesional; penyelenggaraan program yang didasarkan pada kode etik profesi, sesuai bidang tugas;
2. Kemitraan; menempatkan guru pemula dan pembimbing sebagai mitra sejajar;
3. Kesejawatan; penyelenggaraan atas dasar hubungan kerja dalam tim;
4. Mandiri; bekerja tanpa bergantung pada pihak lain;
5. Demokratis; menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok;
6. Terbuka; proses dan hasil kerja diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Fleksibel; menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada;
8. Partisipasif; melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan;
9. Akuntabel; penyelenggaraan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik;
10. Responsibel; penyelenggaraan bekerja sesuai dengan tupoksinya;
11. Sistemik, dilaksanakan secara teratur dan runut;
12. Berkelanjutan, dilakukan secara terus menerus dengan selalu mengadakan perbaikan atas hasil sebelumnya;

Program induksi dilaksanakan dalam rangka menyiapkan guru pemula agar menjadi guru profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dengan demikian program induksi senantiasa dipantau dan dievaluasi agar dapat diperbaiki di masa depan. Pemantaun dan evaluasi sebagai salah satu bagian proses penjaminan mutu pendidikan terutama dalam pemenuhan standar kompetensi guru sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Selain itu, melalui program induksi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru pemula dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, kondisi sekolah, dan lingkungannya.

Sumber :

Disarikan dari : Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Draft Petunjuk Teknis Program Induksi Guru Pemula. Jakarta.

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Posted on 4 September 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Sumber daya manusia yang bermutu adalah investasi masa depan. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang bermutu. Salah satu faktor yang menopang sistem pendidikan yang bermutu adalah tersedianya guru yang profesional.

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No 14 tahun 2005 ayat 1).

Mengingat peran guru yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan, maka seorang guru harus dipersiapkan dengan matang. Persiapan tersebut haruslah berkesinambungan mulai dari pre-service dan pendidikan profesi guru di LPTK sampai menjadi guru pemula di satuan pendidikan.

Pada saat awal seorang guru pemula mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah mereka menghadapi beberapa hambatan antara lain: pengenalan karakteristik peserta didik, budaya sekolah, beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah. Padahal pengenalan guru pemula terhadap situasi sekolah akan menentukan karir dan profesionalitas seorang guru selanjutnya. Salah satu program yang dapat membekali guru pemula dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi guru pada awal mereka bertugas adalah program induksi.

Program Induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi guru pemula pada satuan pendidikan di tempat tugasnya. Induksi guru pemula merupakan proses orientasi kegiatan mengajar dalam konteks satuan pendidikan tertentu, dan menjadi pembelajaran profesional di tempat kerja selama tahun pertama mengajar dan merupakan tahap awal dalam Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPB) seorang guru.

Program Induksi dirancang secara sistematis dan terencana berdasarkan konsep kerjasama dan kesejawatan antara guru pemula, guru pembimbing, guru sejawat, kepala sekolah, dan pengawas dengan pendekatan pembelajaran profesional.

Program Induksi bagi guru pemula didasarkan pada pemahaman bahwa:

1. Pembelajaran di tempat kerja merupakan unsur utama bagi perkembangan dan pembelajaran professional guru pemula, Tahap ini juga berperan penting dalam Pengembangan Profesi Berkelanjutan (PPB).
2. Pembelajaran professional melibatkan guru dan kelompok guru yang mengembangkan praktek dan pemahaman baru tentang pekerjaan mereka.
3. Kerjasama dan dialog professional di sekolah dapat mendukung pembelajaran professional, mengembangkan praktik reflektif dan memperkuat pendekatan kolegalitas untuk perkembangan sekolah.
4. Pembelajaran professional guru merupakan landasan bagi perkembangan sekolah dan peningkatan hasil belajar peserta didik serta peningkatan status profesi.

Penyelenggaraan program induksi bagi guru pemula didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Profesional; penyelenggaraan program yang didasarkan pada kode etik profesi, sesuai bidang tugas;
2. Kemitraan; menempatkan guru pemula dan pembimbing sebagai mitra sejajar;
3. Kesejawatan; penyelenggaraan atas dasar hubungan kerja dalam tim;
4. Mandiri; bekerja tanpa bergantung pada pihak lain;
5. Demokratis; menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok;
6. Terbuka; proses dan hasil kerja diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Fleksibel; menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada;
8. Partisipasif; melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan;
9. Akuntabel; penyelenggaraan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik;
10. Responsibel; penyelenggaraan bekerja sesuai dengan tupoksinya;
11. Sistemik, dilaksanakan secara teratur dan runut;
12. Berkelanjutan, dilakukan secara terus menerus dengan selalu mengadakan perbaikan atas hasil sebelumnya;

Program induksi dilaksanakan dalam rangka menyiapkan guru pemula agar menjadi guru profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dengan demikian program induksi senantiasa dipantau dan dievaluasi agar dapat diperbaiki di masa depan. Pemantaun dan evaluasi sebagai salah satu bagian proses penjaminan mutu pendidikan terutama dalam pemenuhan standar kompetensi guru sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Selain itu, melalui program induksi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru pemula dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, kondisi sekolah, dan lingkungannya.

Sumber :

Disarikan dari : Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Draft Petunjuk Teknis Program Induksi Guru Pemula. Jakarta.

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Posted on 4 September 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Sumber daya manusia yang bermutu adalah investasi masa depan. Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang bermutu. Salah satu faktor yang menopang sistem pendidikan yang bermutu adalah tersedianya guru yang profesional.

Sekilas tentang Program Induksi Bagi Guru Pemula

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No 14 tahun 2005 ayat 1).

Mengingat peran guru yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan, maka seorang guru harus dipersiapkan dengan matang. Persiapan tersebut haruslah berkesinambungan mulai dari pre-service dan pendidikan profesi guru di LPTK sampai menjadi guru pemula di satuan pendidikan.

Pada saat awal seorang guru pemula mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah mereka menghadapi beberapa hambatan antara lain: pengenalan karakteristik peserta didik, budaya sekolah, beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah. Padahal pengenalan guru pemula terhadap situasi sekolah akan menentukan karir dan profesionalitas seorang guru selanjutnya. Salah satu program yang dapat membekali guru pemula dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi guru pada awal mereka bertugas adalah program induksi.

Program Induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi guru pemula pada satuan pendidikan di tempat tugasnya. Induksi guru pemula merupakan proses orientasi kegiatan mengajar dalam konteks satuan pendidikan tertentu, dan menjadi pembelajaran profesional di tempat kerja selama tahun pertama mengajar dan merupakan tahap awal dalam Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPB) seorang guru.

Program Induksi dirancang secara sistematis dan terencana berdasarkan konsep kerjasama dan kesejawatan antara guru pemula, guru pembimbing, guru sejawat, kepala sekolah, dan pengawas dengan pendekatan pembelajaran profesional.

Program Induksi bagi guru pemula didasarkan pada pemahaman bahwa:

1. Pembelajaran di tempat kerja merupakan unsur utama bagi perkembangan dan pembelajaran professional guru pemula, Tahap ini juga berperan penting dalam Pengembangan Profesi Berkelanjutan (PPB).
2. Pembelajaran professional melibatkan guru dan kelompok guru yang mengembangkan praktek dan pemahaman baru tentang pekerjaan mereka.
3. Kerjasama dan dialog professional di sekolah dapat mendukung pembelajaran professional, mengembangkan praktik reflektif dan memperkuat pendekatan kolegalitas untuk perkembangan sekolah.
4. Pembelajaran professional guru merupakan landasan bagi perkembangan sekolah dan peningkatan hasil belajar peserta didik serta peningkatan status profesi.

Penyelenggaraan program induksi bagi guru pemula didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Profesional; penyelenggaraan program yang didasarkan pada kode etik profesi, sesuai bidang tugas;
2. Kemitraan; menempatkan guru pemula dan pembimbing sebagai mitra sejajar;
3. Kesejawatan; penyelenggaraan atas dasar hubungan kerja dalam tim;
4. Mandiri; bekerja tanpa bergantung pada pihak lain;
5. Demokratis; menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok;
6. Terbuka; proses dan hasil kerja diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Fleksibel; menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada;
8. Partisipasif; melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan;
9. Akuntabel; penyelenggaraan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik;
10. Responsibel; penyelenggaraan bekerja sesuai dengan tupoksinya;
11. Sistemik, dilaksanakan secara teratur dan runut;
12. Berkelanjutan, dilakukan secara terus menerus dengan selalu mengadakan perbaikan atas hasil sebelumnya;

Program induksi dilaksanakan dalam rangka menyiapkan guru pemula agar menjadi guru profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dengan demikian program induksi senantiasa dipantau dan dievaluasi agar dapat diperbaiki di masa depan. Pemantaun dan evaluasi sebagai salah satu bagian proses penjaminan mutu pendidikan terutama dalam pemenuhan standar kompetensi guru sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Selain itu, melalui program induksi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru pemula dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, kondisi sekolah, dan lingkungannya.

Sumber :

Disarikan dari : Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Draft Petunjuk Teknis Program Induksi Guru Pemula. Jakarta.

Buku Standar Penyelenggaraan KKG-MGMP

Posted on 25 Oktober 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mempersyaratkan guru untuk: (1) memiliki kualifikasi akademik minimumS1/D4; (2) memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional; dan (3) memiliki sertifikat pendidik. Dengan berlakunya Undang-undang ini diharapkan memberikan suatu kesempatan yang tepat bagi guru untuk meningkatkan profesionalismenya melalui pelatihan, penulisan karya ilmiah, pertemuan di Kelompok Kerja Guru (KKG), dan pertemuan di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dengan demikian KKG dan MGMP memiliki peran penting dalam mendukung pengembangan profesional guru.

Buku Standar Pengembangan dan Operasional Pelaksanaan KKG/MGMP

Untuk mewujudkan peran KKG dan MGMP dalam pengembangan profesionalisme guru, maka peningkatan kinerja kelompok kerja guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan masalah yang mendesak untuk dapat direalisasikan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja KKG dan MGMP, antara lain melalui berbagai pelatihan instruktur dan guru inti, peningkatan sarana dan prasarana, dan peningkatan mutu manajemen KKG/MGMP. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan kinerja KKG/MGMP yang berarti. Di beberapa daerah menunjukkan peningkatan kinerja KKG/MGMP yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan. Berdasarkan masalah ini, maka diperlukan analisis yang mendalam mengenai rendahnya kinerja KKG/MGMP. Dari berbagai pengamatan dan analsis, sedikitnya ada empat faktor yang menyebabkan kinerja KKG/MGMP tidak mengalami peningkatan secara merata.

Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan KKG/MGMP menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa KKG/MGMP berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input KKG/MGMP seperti pelatihan guru dan perbaikan sarana dan prasarana lainnya dipenuhi, maka peningkatan kinerja KKG/MGMP (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, peningkatan kinerja KKG/MGMP yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dalam hal ini guru yang mengikuti kegiatan KKG/MGMP dan kurang memperhatikan pada proses kinerja. Padahal, proses kinerja sangat menentukan output kegiatan KKG/MGMP.

Faktor kedua, penyelenggaraan KKG/MGMP yang dilakukan masih belum dapat melepaskan dari sistem birokrasi pemerintah daerah, sehingga menempatkan KKG/MGMP sebagai wadah pengembangan profesionalisme guru masih tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan guru setempat. Dengan demikian KKG/MGMP kehilangan kemandirian, motivasi dan insiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan profesionalisme guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan nasional.

Faktor ketiga, akuntabilitas kinerja KKG/MGMP selama ini belum dilakukan dengan baik. Pengurus KKG/MGMP tidak memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan kegiatannya kepada sesama rekan guru, pimpinan sekolah, dan masyarakat.

Faktor keempat, belum adanya panduan/petunjuk kegiatan kelompok kerja yang jelas untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dan pengurus KKG/MGMP dalam melakukan aktivitas kelompok kerja atau musyawarah kerja.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan revitalisasi penyelenggaraan KKG/MGMP melalui penyusunan panduan penyelenggaraan KKG/MGMP dalam bentuk: (1) Buku Standar Pengembangan KKG/MGMP dan (2) Buku Standar Operasional Pelaksanaan KKG/MGMP.

Diharapkan dengan adanya panduan pelaksanaan KKG/MGMP ini kegiatan-kegiatan kelompok kerja guru dan musyawarah kerja mata pelajaran dapat lebih terarah dan dapat dijadikan wadah untuk pengembangan profesionalisme guru secara mandiri dan berkelanjutan.

==============

Jika Anda ingin mengunduh materi buku tersebut silahkan klik DISINI

[Link ini sudah lama terpasang di blog ini, namun karena letaknya tersembunyi sehingga tampaknya sulit dilacak oleh rekan-rekan pengunjung. Oleh karena itu, saya berupaya meng-update-nya melalui tulisan ini, dengan harapan semoga rekan-rekan pengunjung dapat lebih mudah melacaknya. Semoga bermanfaat]

==============

Sumber :

Direktorat Profesi Pendidik, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Standar Pengembangan Kelompok Kerja Guru/KKG-Musyawarah Guru Mata Pelajaran/MGMP. Jakarta

Peran Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

Posted on 8 Oktober 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Keberhasilan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak hanya ditentukan oleh keahlian dan ketrampilan para petugas bimbingan dan konseling itu sendiri, namun juga sangat ditentukan oleh komitmen dan keterampilan seluruh staf sekolah, terutama dari kepala sekolah sebagai administrator dan supervisor.

Peranan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

Sebagai administrator, kepala sekolah bertanggungjawab terhadap kelancaran pelaksanaan seluruh program sekolah, khususnya program layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang dipimpinnya. Karena posisinya yang sentral, kepala sekolah adalah orang yang paling berpengaruh dalam pengembangan atau peningkatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolahnya. Sebagai supervisor, kepala sekolah bertanggung jawab dalam melaksanakan program-program penilaian, penelitian dan perbaikan atau peningkatan layanan bimbingan dan konseling. Ia membantu mengembangkan kebijakan dan prosedur-prosedur bagi pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolahnya.

Secara lebih terperinci, Dinmeyer dan Caldwell (dalam Kusmintardjo, 1992) menguraikan peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, sebagai berikut:

1. Memberikan support administratif, memberikan dorongan dan pimpinan untuk seluruh program bimbingan dan konseling;
2. Menentukan staf yang memadai, baik segi profesinya maupun jumlahnya menurut keperluannya;
3. Ikut serta dalam menetapkan dan menjelaskan peranan anggota-anggota stafnya;
4. Mendelegasikan tanggung jawab kepada “guidance specialist” atau konselor dalam hal pengembangan program bimbingan dan konseling;
5. Memperkenalkan peranan para konselor kepada guru-guru, murid-murid, orang tua murid, dan masyarakat melalui rapat guru, rapat sekolah, rapat orang tua murid atau dalam bulletin-buletin bimbingan dan konseling;
6. Berusaha membentuk dan menjalin hubungan kerja yang kooperatif dan saling membantu antara para konselor, guru dan pihak lain yang berkepentingan dengan layanan bimbingan dan konseling;
7. Menyediakan fasilitas dan material yang cukup untuk pelaksanaan bimbingan dan konseling;
8. Memberikan dorongan untuk pengembangan lingkungan yang dapat meningkatkan hubungan antar manusia untuk menggalang proses bimbingan dan konseling yang efektif (dalam hal ini berarti kepala sekolah hendaknya menyadari bahwa bimbingan dan konseling terjadi dalam lingkungan secara global, termasuk hubungan antara staf dan suasana dalam kelas);
9. Memberikan penjelasan kepada semua staf tentang program bimbingan dan konseling dan penyelenggaraan “in-service education” bagi seluruh staf sekolah;
10. Memberikan dorongan dan semangat dalam hal pengembangan dan penggunaan waktu belajar untuk pengalaman-pengalaman bimbingan dan konseling, baik klasikal, kelompok maupun individual;
11. Penanggung jawab dan pemegang disiplin di sekolah dengan memberdayakan para konselor dalam mengembangkan tingkah laku siswa, namun bukan sebagai penegak disiplin.

Sementara itu, Allen dan Christensen (dalam Kusmintardjo, 1992), mengemukakan peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai berikut:

1. Menyediakan fasilitas untuk keperluan penyelenggaraan bimbingan dan konseling;
2. Memilih dan menentukan para konselor;
3. Mengembangkan sikap-sikap yang favorable di antara para guru, murid, dan orang tua murid/masyarakat terhadap program bimbingan dan konseling;
4. Mengadakan pembagian tugas untuk keperluan bimbingan dan konseling, misalnya para petugas untuk membina perpustakaan bimbingan, para petugas penyelenggara testing, dan sebagainya;
5. Menyusun rencana untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan infomasi tentang pekerjaan/jabatan;
6. Merencanakan waktu (jadwal) untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling;
7. Merencanakan program untuk mewawancarai murid dengan tidak mengganggu jalannya jadwal pelajaran sehari-sehari.

Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tugas kepala sekolah dalam pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah ádalah sebagai berikut:

1. Staff selection. Memilih staf yang mempunyai kepribadian dan pendidikan yang cocok untuk melaksanakan tugasnya. Termasuk disini mengadakan analisa untuk mengetahui apakah diantara staf yang ada terdapat orang yang sanggup melakukan tugas yang lebih spesialis.
2. Description of staff roles. Menentukan tugas dan peranan dari anggota staf, dan membagi tanggung jawab. Untuk menentukan tugas-tugas ini kepala sekolah dapat meminta bantuan kepada anggota staf yang lain.
3. Time and facilities. Mengusahakan dan mengalokasikan dana, waktu dan fasilitas untuk kepentingan program bimbingan dan konseling di sekolahnya.
4. Interpretation of program. Menginterpretasikan program bimbingan dan konseling kepada murid-murid yang diberi pelayanan, kepada masyarakat yang membantu program bimbingan dan konseling. Dalam menginterpretasikan program bimbingan dan konseling mungkin perlu bantuan dari staf bimbingan dan konseling, tetapi tanggung jawab terletak pada kepala sekolah sebagai administrator. (R.N. Hatch dan B. Stefflre, dalam Kusmintardjo, 1992)

========

Sumber:

Adaptasi dari : Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2007. Manajemen Layanan Khusus Sekolah.

Konsep Pendidikan Karakter

AKHMAD SUDRAJAT

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Kofigurasi Karakter

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

=============

Sumber diambil dari:

Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/