Selasa, 04 Mei 2010

Membina Keterampilan Etika Berbahasa untuk Pribadi Suksesi

Membina Keterampilan Etika Berbahasa untuk Pribadi Suksesi
Pangesti Wiedartiii
1. Pengantar
Keterbiasaan kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari membuat bahasa
demikian menyatu dengan kehidupan kita. Rasa menyatu yang lekat itu kadangkala membuat kita
merasa bahasa tidak lebih merupakan bagian keseharian yang diperoleh secara alami karena
lingkungan kita menciptakan situasi tersebut. Tetapi, sesungguhnya bahasa bukan hanya bagian
dari keseharian kita, melainkan benar-benar suatu alat yang amat berperan dalam pengembangan
keilmuan dan pengembangan karir kita (Sakri, 1988; Bhatia, 1993).
Dalam sepanjang hidup kita, pengembangan ilmu dan karir amat terpadu, baik itu dalam
dunia kependidikan maupun karir non-kependidikan. Beda dari kedua bidang ini adalah bidang
kependidikan lebih menekankan kepada pengembangan dan eksplorasi teori, sedangkan bidang
nonkependidikan banyak berorientasi kepada keperluan praktis (tetapi dari keperluan praktis ini
dapat dilakukan uji teori di lapangan yang kemungkinan dapat menyempurnakan teori, membuat
suatu delicacy, atau bahkan melahirkan teori-teori baru). Kedua bidang ini melahirkan teks
(struktur dan penggunaan bahasa) yang sedikit berbeda dalam karakteristiknya.
Oleh karena bahasa amat berperan dalam pengembangan ilmu dan karir kita, mampu
memanfaatkan bahasa untuk mengembangkan keduanya menjadi mutlak diperlukan. Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana kita memanfaatkan bahasa secara maksimal bagi kedua
tujuan tersebut dengan sukses?
2. Negosiasi untuk Memenangkan Transaksi
Pada umumnya, semua komunikasi kita -baik dalam bidang kependidikan maupun
nonkependidikan- mengarah kepada kemampuan untuk bernegosiasi agar dapat memenangkan
transaksi. Dalam bidang kependidikan, salah satu contohnya adalah bagaimana para akademisi
berupaya mampu memenangkan proposal yang ditulisnya (Swales, 1990) agar mendapatkan dana
penelitian. Untuk keperluan ini, akademisi harus mampu menggunakan kemampuan berbahasa
tulisnya untuk menulis proposal sesuai tuntutan scheme (gaya selingkung) yang disyaratkan calon
pemberi dana (Bhatia, 1994), dan pada gilirannya ketika proposal tersebut lolos dalam desk
evaluation, mereka harus mampu menyajikan dan mempertahankan proposal tersebut di hadapan
para reviewer. Pada kedua tahap ini, kemampuan berkomunikasi tulis dan lisan (Halliday, 1985)
diperlukan dalam bernegosiasi untuk memenangkan transaksi. Komunitas wacana (discourse
community) dalam bidang kependidikan ini bervariasi, tetapi dapat diketahui bentuknya karena
bersifat senada dan ajeg. Karenanya, segala sesuatunya biasanya dapat diantisipasi. Kemampuan
mengantisipasi yang menghasilkan strategi itulah yang menjadi kekuatan tersendiri dalam
memenangkan transaksi.
Sementara itu, dalam bidang nonkependidikan, komunitas wacana yang muncul akan
bervariasi karena tuntutan masyarakat amat dinamis. Walaupun demikian, variasi itu dapat
diidentifikasi dengan cara mengamati fenomena yang muncul secara situasional (Eggins & Slade,
1997). Berikutnya, dapat dilihat pola wacana yang muncul untuk kemudian disikapi agar negosiasi
dapat dilakukan, dan transaksi pun pada gilirannya dapat dimenangkan.
Bagan komunikasi (Gambar 1, lihat halaman 4) menggambarkan bagaimana proses
negosiasi dan transaksi itu berlangsung dalam proses komunikasi (Wiedarti, 2006), baik tulis
maupun lisan.
3. Bahasa sebagai Sumber Pilihan dalam Kegiatan Berkomunikasi
Dalam melakukan negosiasi pada bagan proses komunikasi di atas, diperlukan
pemahaman terhadap konsep register dan genre (Wiedarti, 2004) yang digambarkan pada Gambar
2 di halaman 4.
Hal pokok yang perlu diperhatikan di sini adalah register yang terdiri dari field, tenor, dan
mode (Martin, 1992; Biber, 1995). Field berkaitan dengan bidang yang dibahas. Bidang ini akan
menjadi ciri khas komunitas wacana, misalnya teks dalam teknik mesin dan diknik teknik mesin
(Dudley-Evans & St John, 1998; Christie, F., & Martin, J. R. (Eds.), 1997; Rose, 1997). Tenor
berkaitan dengan pelibat wacana, yaitu siapa pembicara/penulis dan mitra bicara atau pembaca,
dan seberapa kedekatan hubungan personal di antara keduanya. Tenor akan mempengaruhi
pemilihan bahasa yang digunakan pelibat wacana dalam berkomunikasi.
Mode berkaitan dengan saluran komunikasi yang akan mempengaruhi karakter bahasa
yang digunakan, misalnya komunikasi via elektronik berbeda dengan komunikasi bahasa tulis
i Disampaikan pada “Pembinan Sukses Karir dan Bimbingan Klasikal Proyek Akhir Mahasiswa D3 dan S1 Angkatan
2004, Jurusan Diknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta”, 27 April 2007
i i Grad. Dipl & Master (applied lingusitics), Ph.D linguistics; dosen JPBSI FBS UNY
1


formal. Ketiganya ini dipengaruhi oleh konteks situasi yang berikutnya akan melahirkan penggu-
naan bahasa formal atau informal.
Pada tataran selanjutnya, yang perlu diketahui dan dikuasai adalah genre, yang
menyangkut struktur teks (tujuan sosial teks, struktur teks, dan unsur kebahasaan) . Menguasai
register dan genre menjadi penting agar komunikasi untuk memenangkan transaksi tercapai. Di
sinilah pelibat wacana harus tahu bahwa bahasa menawarkan berbagai bentuk dan makna yang
dapat dipilih sesuai konteks situasi dan konteks budaya (Fairclough, 1988; 1992).
4. Strategi Berkomunikasi:
a) Santun Berbahasa (Politeness)
Seorang pembicara harus tahu kepada siapa dia berbicara, dalam konteks situasi formal
atau informal, dalam latar budaya apa agar etika setempat dapat diterapkan sebagai bentuk dari
politeness (kesantunan berbahasa, termasuk paralinguistik/gestur), jenis saluran komunikasi
(elektronik: email, sms, telpon; lisan langsung, tertulis), dan tujuan berkomunikasi, langkah-langkah
berkomunikasi, dan unsur kebahasaan yang diperlukan dalam latar komunikasi terkait.
Politeness terdiri dua macam (Brown & Levinson, 1978). Pertama, negative politeness,
dilakukan ketika pembicara menyampaikan permohonan dengan cara negasi, misalnya: “Jika tidak
berkeberatan/merepotkan .......” yang dipilih pembicara untuk menghormati mitra bicara dalam
menentukan sikap. Dengan kata lain, paparan yang disampaikan adalah menggunakan teknik tidak
langsung. Kedua, positive politeness, dilakukan untuk memantapkan hubungan positif di antara
pelibat wacana, menghormati seseorang sesuai dengan konteks (status sosial dan atmosfir
hubungan). Misalnya, tindak tutur langsung seperti ungkapan “sumpah”, “sungguh” digunakan
dalam atmosfir hubungan dekat pelibat wacana karena ungkapan ini mengekspresikan kepedulian
terhadap nilai-nilai yang diyakini pembicara dapat diterima oleh mitra bicaranya.
Teknik politeness yang dapat digunakan antara lain:
i) ekspresi ketidakpastian dan ambiguitas melalui hedging, ungkapan tidak langsung, dan
eufemisme (kata-kata berkonotasi), contoh: “Kalau tidak salah, Ibu meletakkan flashdisk di laci
meja Ibu”
ii) tag question dalam pernyataan langsung: “Anda kemarin belanja ke pasar swalayan, bukan?”,
iii) menggunakan modal tags, misalnya ketika pembicara meminta informasi karena dia tidak yakin
“Anda belum transfer uang ke rekening bank saya, benar?”
iv) affective tags, misalnya: “Anda belum lama tinggal di sini, iya kan?
v) penghalus, untuk mengurangi tuntutan pembicara terhadap lawan bicara, misalnya: “Tolong
bawakan koperku, bisa kan/keberatan enggak?”
vi) facilitative tags, mengajak mitra bicara untuk memberikan komentar terhadap permintaan
pembicara, misalnya: “Anda dapat melakukan hal itu, iya kan?”
b) Teori Appraisal
Teori appraisal (Martin, 1996; Martin & Rose, 2003; White, 2001) dipahami sebagai
evaluative language. Bahwa, setiap seseorang berbahasa, sesungguhnya di baliknya terdapat
penilaian terhadap sesuatu yang dibicarakan. Penilai atau pembicara ini disebut appraiser, yang
dinilai disebut appraised, dapat berupa diri sendiri, orang lain, atau benda. Ihwal penilaian (negatif
atau positif) disebut affect (berkaitan dengan perasaan), appreciation (terhadap benda atau hal),
dan judgement (terhadap perilaku). Selain itu, terdapat aspek engagement yang berkaitan dengan
ekspresi ihwal setuju atau tidak setuju terhadap suatu pernyataan, dan graduation yang berkaitan
dengan bagaimana pernyataan itu diungkapkan, misalnya dengan tegas/langsung atau tidak
langsung.
Contoh:
(1) Direktur (Appraised) kita (Appraiser) prihatin (Affect) dengan masalah kemiskinan dan berkenan
memberikan (Judgement) beasiswa (Appreciation) bagi anak-anak kaum dhuafa.
(2) “Etos kerja karyawan perusahaaan Anda sangat bagus (Graduation:tegas). Saya puas (Affect)
dengan layanan yang diberikan (Appreciation).”
Jika seseorang memahami teori appraisal ini, dia dapat memanfaatkannya untuk memberikan
reward kepada orang lain, atau mengekspresikan opininya sesuai situasi dan karenanya dapat
merebut simpati banyak orang.
c) Instant Persuasion dan Healing Words
Di luar bidang bahasa, terdapat bidang lain yang memberi perhatian kepada pemakaian
bahasa bagi keperluan komunikasi secara umum di beberapa profesi dan hubungan interper-
sonal. Laurie Puhn (pembicara, mediator profesional, pembicara publik yang dinamis) dalam
bukunya Instant Persuasion (2005) menyampaikan pengalamannya tentang “Ucapan Anda adalah
Hidup Anda” menampilkan 35 aturan, yaitu: 1) tundukkan dengan senyum, 2) sebarkan gosip
positif, 3) keluhan yang berpengaruh, 4) mintalah maaf dengan dua cara, 5) jangan tawarkan
pepesan kosong, 6) perbaiki kesalahan, 7) jangan melihat sesuatu dari satu sisi, 8) cari solusi
faktual, 9) jaga lidahmu, 10) hati-hati dengan pujian bermakna ganda, 11) perbesar pujian, 12)
2







perjelas perjanjian, 13) simpan kritik Anda hingga waktu yang tepat, 14) jadikan orang lain sebagai
mitra Anda, 15) hargai orang lain dengan cara baru, 16) tunjukkan bahwa Anda peduli, 17) berikan
jawaban pasti, 18) siapkan bukti, 19) jangan terpancing, 20) hargai kritik, 21) dapatkan lampu hijau,
22) kendalikan amarah, 23) hindari janji kosong, 24) ciptakan kenyamanan di masa sulit, 25)
mintalah dan kamu akan menerimanya, 26) jangan manfaatkan orang lain, 27) tidak setuju tanpa
memusuhi, 28) jadilah tuan rumah yang bijak, 29) jangan menyerah di bawah tekanan, 30) jaga
privasi, 31) hati-hati ketika mengundang, 32) percakapan yang sehat, 33) katakan maksud Anda
dengan jelas, 34) hindari komentar yang tidak perlu, 35) bayar dengan perkataan.
Sementara itu, healing words (Dickson, 1993, Dossey, 1997) dikhususkan di bidang medis,
diharapkan dapat menimbulkan motivasi penyembuhan para pasien. Pasien tidak hanya
memerlukan obat dan perawatan melainkan juga memerlukan kata-kata yang menyembuhkan,
motivasi, dan dukungan yang menghibur dan menciptakan berpikir positif dalam berupaya kembali
sehat. Dalam keseharian kita healing words itu diperlukan dalam pemberian support.
5. Penutup
Komunikasi yang dilakukan seseorang didasarkan pada kemampuan berbahasanya (Halliday,
1979; Briggs & Bauman, 1992). Kemampuan berbahasa tidak lepas dari pilihan kata dan kalimat
yang sesuai konteks situasi serta budaya setempat ketika latar komunikasi terjadi.
Pada umumnya telah banyak orang menerapkan hal-hal di atas, tetapi banyak pula yang
menerapkannya tanpa menyadari betul strategi memanfaatkan penggunaan bahasa dalam latar
pengembangan ilmu dan karir. Dengan menerapkan semua “aturan” ini dan disertai kesadaran
akan kekuatan bahasa amat berpengaruh dalam kegiatan berkomunikasi, diharapkan akan ada
perubahan lebih baik dalam keterampilan berkomunikasi interpersonal.
PRO SES K O M U N I K ASI
transaksi-transaksi
negosiasi-negosiasi
E N C O D I N G
D E C O D I N G
TEXT
* tar ge t
P E MB AC A
P E NU LI S
* b i d a n g
pe mb ac a
TULI S
k e i l m u a n
* ke ter amp il an
* k e t e r a m p i la n
be rb ah a s a
b e r b a h a s a
* b id an g
L I SA N
P E ND E NG AR
P E MBI C AR A
* t i n g k a t
ke ilmu a n
p e n d i d ik an
e ncod ing – de codi ng e nc odin g - de codi ng
Gambar 1: Bagan Komunikasi
Gambar 2 Register dan Genre

Bukan Omong Kosong

rENUNGAN

Summary:ersys
SEPULUH CIRI ORANG BERPKIR POSITIF


1. MELIHAT MASALAH SEBAGAI TANTANGAN
Bandingkan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat maka dia akan berpikir hidupnya adalah menjadi orang yang paling sengsara di dunia.

2. MENIKMATI HIDUP
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati

3. PIKIRAN TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN IDE
Pikiran terbuka membutuhkan kebesaran hati dan tentu kesabaran. karena dengan begitu, akan ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

4. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF SEGERA SETELAH PIKIRAN ITU TERLINTAS DI BENAK
Suatu kendala yang sebetulnya bisa diatasi dengan kepala dingin jika sudah dilandasi dengan pikiran negatif ternyata hanya akan menimbulkan masalah baru.

5. MENSYUKURI APA YANG DIMILIKI
Hindari berkeluh kesah tentang apapun yang tidak dimiliki karena justru akan menjadi beban. sebaliknya jadikan hal itu sebagai motivasi untuk meraih hidup yang diharapkan.

6. TIDAK MENDENGAR GOSIP YANG TAK MENENTU
Sudah pasti gosip erat sekali dengan berpikir negatif. karena itu sebisa mungkin jauhi gosip-gosip yang tak jelas asalnya.

7. TIDAK MEMBUAT ALASAN TETAPI AMBIL TINDAKAN
NATO ( No Action, Talk Only ) itu adalah ciri khas orang berpikir negatif. maka ambilah tindakan dan buktikan bahwa anda bisa mengatasi masalah sebagai orang yang berpikir positif.

8. MENGGUNAKAN BAHASA YANG POSITIF
Saat kita berkomunikasi dengan orang lain gunakan kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme sehingga dapat memberikan semangat terhadap lawan bicara kita

9. MENGGUNAKAN BAHASA TUBUH YANG POSITIF
Diantara bahasa tubuh yang lain senyum merupakan wujud dari berpikir positif karena akan menimbulkan kesan bersahabat dan akan menjadi lebih akrab dengan suasana.

10. PEDULI PADA CITRA DIRI
Itu sebabnya, mereka berusah tampil baik bukan hanya di luar tetapi juga di dalam.

Itulah sepuluh tanda orang berpikir positif semoga artikel diatas bermanfaat untuk anda. jadilah orang yang berpikir positif dalam menyelesaikan masalah sehingga kita tidak akan terbebani dengan hidup ini.



10 ciri orang berpikir positif Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1901760-10-ciri-orang-berpikir-positif/